Jakarta, Aktual.com – Sektor migas merupakan bagian dari fundamental negara, menjadi hal yang aneh dan tentu saja dipertanyakan publik sektor strategis ini tanpa kepastian hukum. Adapun undang-undang no 22 tahun 2001 bermasalah dengan konstitusi dan beberapa point nya dianulir oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2012.

Sejak itu, sudah memasuki tahun ke empat pasca keluar putusan MK, proses revisi itu hingga kini belum jelas rimbanya. Kemudian dipastikan hingga tahun ini berakhir, lembaga DPR takkan mampu merampungkannya.

Kondisi menggantung seperti ini membuat kegelisahan semua pihak, bahkan anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Andang Bachtiar merasa ada faktor yang sengaja membuat proses revisi itu berjalan dengan lambat.

“Yang saya rasakan ini nggak selesai-selesai, pasti ada apa-apa nya ini. BP Migas sudah dibubarkan tapi tetap saja nggak selesai-selesai urusannya, pasti ada sesuatu. Saya melihatnya makin nggak karuan,” ujarnya, Senin (28/11).

Kemudian tambahnya, proses itu juga dilakukan tanpa ada transparansi, sehingga publik tidak tahu sudah sejauh mana dan apa saja yang menjadikannya alot hingga tak kunjung selesai direvisi.

“Revisi UU migas ini tidak trasparan, kita tidak tahu sudah sejauh mana progresnya, kenapa ini bertele-tele,” tandasnya.

Berdasarkan catatan MK pada tahun 2012 ada tiga aspek yang mesti diperhatikan dalam revisi tersebut. Pertama mengenai tata kelola, MK meminta sektor migas dikelola berdasarkan rasionalitas birokrasi yang efisien yang tidak menimbulkan peluang inefisiensi dan penyalahgunaan kekuasaan.

Hal yang kedua terkait hubungan bisnis agar sepenuhnya di bawah kontrol dan kekuasaan negara.

Adapun persoalan Kelembagaan; Negara dapat membentuk atau menunjuk BUMN yang diberikan konsesi untuk mengelola Migas, kemudian BUMN tersebut yang melakukan Kontrak dengan Kontraktor. [Dadangsah Dapunta]

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta
Andy Abdul Hamid