UU Migas (ist)

Jakarta, Aktual.com – Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas bumi (Migas) yang dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi (MK) mengalami stagnasi dalam proses revisinya di Dewan Perwakilan Rakyat. Kepastian UU ini dipandang krusial bagi The Habibie Center untuk segera diselesaikan sebagai solusi tantangan ketahanan energi Indonesia.

The Habibie Center akan membuat sebuah Policy Paper yang memuat sejumlah rekomendasi mengenai tata kelola migas. Policy paper tersebut akan diajukan ke Komisi VII DPR paling lambat pada Januari 2017 mendatang.

“Sejumlah isu utama dalam kebijakan di sektor migas antara lain menjadikan migas sebagai modal dasar pembangunan negara atau bukan sekadar komoditas perdagangan,” kata peneliti senior bidang ekonomi The Habibie Center, Zamroni Salim, di The Habibie Center, Jakarta, Selasa (29/11).

Dia menambahkan, tata kelola migas yang baru, diarahkan untuk mencapai ketahanan energi dengan cara memperkuat kelembagaan dan mengintegrasi kegiatan hulu dan hilir berkaitan dengan ketersediaan dan keterjangkauan harga.

Selain itu, perlu juga mengakomodasi keberadaan migas nonkonvensional, seperti shale oil atau shale gas. Sebagai tambahan poin, kebijakan diversifikasi energi harus juga menjadi perhatian.

“Cadangan migas nasional harus bisa dikapitalisasi oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Cadangan migas dijadikan sebagai modal finansial untuk mencari cadangan baru di dalam maupun di luar negeri, ” Tandas Zamrom.

(Laporan: Dadangsah Dapunta)

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta
Eka