Jakarta, Aktual.com — Kelompok lembaga swadaya masyarakat Human Rights Working Group (HRWG) menilai revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme membuka peluang pelanggaran HAM, terutama dalam hal pemenuhan prinsip ‘fair trial dan larangan penyiksaan.
“Bukannya memperkuat mekanisme pengawasan dan prosedur penanganan, pasal-pasal revisi justru semakin membuka peluang bagi kesewenang-wenangan aparat dan penegak hukum, jauh dari prinsip penegakan hukum yang adil, akuntabel dan transparan,” kata Direktur Eksekutif HRWG, Rafendi Djamin, Kamis (17/3).
HRWG mendukung upaya pemerintah untuk memberantas segala bentuk teror yang harus berada dalam konteks perlindungan hak rasa aman setiap orang dan pemberantasannya tidak serta merta menabrak prinsip-prinsip penegakan hukum.
Sebaliknya, pemberantasan terorisme harus tetap memperhatikan rambu-rambu hak asasi manusia.
Penanganan terorisme masih sangat memprihatinkan bila dilihat dari perspektif HAM, terutama dalam kasus terakhir ketika seorang terduga teroris, Siyono (34), warga Kabupaten Klaten, yang diketahui meninggal setelah ditangkap oleh Densus 88.
Siyono ditangkap oleh pasukan Densus Antiteror Mabes Polri di rumahnya di Dukuh Brengkungan, Desa Pogung, Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Rabu (9/3). Pasukan Densus 88 yang didukung anggota Polres Klaten kemudian melakukan penggeledahan di rumah Siyono, pada Kamis (10/3) siang.
“Meski ada proses penyelidikan yang dilakukan oleh Polri, namun hal ini tidak cukup menjadi alasan untuk menghilangkan nyawa seseorang, apalagi diketahui telah terjadi prosedur dalam pengawalan. Sayangnya, pentingnya prosedur tetap dan transparan ini justru tidak dimasukkan dalam RUU revisi yang memadai dan baik untuk menekan pelanggaran HAM, termasuk pula upaya dialog yang lebih utama dalam menyelesaikan permasalahan radikalisme dan terorisme,” kata Rafendi.
Menurut HRWG, tidak memadainya revisi dapat dilihat dari sejumlah pasal di dalam RUU. Diantaranya perpanjangan masa tahanan, tuntutan dan proses peradilan (Pasal 25 RUU), penghapusan izin penyadapan dari Pengadilan Negeri dan tidak adanya prosedur pengawasan (Pasal 31 RUU), penempatan terduga teroris di tempat tertentu (Pasal 34A) yang justru bertentangan dengan semangat penghukuman dan anti-penyiksaan.
Kemudian, adanya potensi mengembalikan peranan TNI dalam pemberantasan terorisme (Pasal 43B) yang justru bertentangan dengan semangat reformasi, serta beberapa pasal yang masih kabur dan memunculkan multitafsir.
“Kecenderungan yang ada, bukannya mekanisme kontrol dan pengawasan yang diperkuat, tapi sebaliknya mengarah pada penegakan hukum yang sewenang-wenang dan tidak transparan,” ujar Rafendi.
HRWG mendesak DPR dan Pemerintah untuk melakukan evaluasi komprehensif terhadap penanganan terorisme selama ini, mulai dari pencegahan, deradikalisasi hingga penindakan, untuk menemukan celah pelanggaran HAM dan membuat mekanisme pengawasan yang lebih baik.
Pada level internasional, HRWG mengingatkan bahwa PBB telah menyepakati sejumlah resolusi yang menegaskan pentingnya prinsip-prinsip HAM dalam penanganan terorisme. Pemberantasan terorisme sebagai musuh bersama tidak bisa digunakan sebagai justifikasi untuk melakukan tindakan brutal oleh penegak hukum.
Artikel ini ditulis oleh:
Antara