Jakarta, Aktual.com – Sektor perbankan sejak era reformasi telah mempraktikkan kondisi yang liberal, sehingga makin banyak bank-bank asing yang merangsek ke pasar domestik.

Untuk, ketika UU Nomor 10 tahun 1998 ini direvisi dan masuk program legislasi nasional (prolegnas) 2017 ini, maka upaya pembatasan bank-bank asing tersebut harus menjadi prioritas dalam amanden UU ini.

“Jadi dibanding negara-negara ASEAN, perbankan kita itu sangat liberal dengan porsi kepemilikan saham mencapai 99 persen, padahal negara lain seperti Thailand cuma 25 persen dan Singapura sebanyak 40 persen,” ungkap Direktur Eksekutif INDEF, Enny Sri Hartati, dalam diskusi RUU Perbankan dan Penguatan Industri Perbankan Nasional, di Jakarta, Senin (6/2).

Apalagi kemudian, kata dia, dari sisi asas resiprokal dalam pendirian bank maupun kantor bank di luar negeri juga masih tak semudah dari negara lain masuk ke Indonesia.

“Hal ini sangat terlihat pada sulitnya bank-bank lokal membuka kantor cabang di negara lain sedangkan bank asing begitu mudah sekali membuka cabang di Indonesia,” tandas dia.

Dia melanjutkan, di Indonesia ini aturan kepemilikan saham bank tidak dijelaskan secara eksplisit dalam UU tetapi hanya diatur dalam Peraturan Bank Indonesia.

“Sementara di negara lain, seperti Thailand, bank komersial dilarang untuk mentransfer sahamnya kepada siapa pun yang menyebabkan terjadinya pelanggaran besaran kepemikikan saham yang telah ditentukan,” kata Enny.

Kebijakan itu, tegas Enny, dianggap bisa menekan liberalisasi di sektor perbankan. “Sama di Filipina juga liberal, kepemilikan (saham) asing mencapai 40 persen, tapi tetap tak seliberal kita,” pungkas Enny.

(Laporan: Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Eka