Jakarta, aktual.com – Pemerintah akan membuka kembali keran impor garam industri sebanyak 2,92 juta ton pada tahun 2020. Bahkan, naik 6% dari tahun sebelumnya sebanyak 2,75 juta ton.
Impor garam ini menjadi perhatian. Lantaran kualitas garam lokal dianggap masih belum sesuai dengan spesifikasi kebutuhan industri, NaCl di atas 97%.
Ketua Umum Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) Tony Tanduk mengatakan masalah kualitas menjadi kebutuhan utama bagi industri. Ini jadi hal pokok di samping harga impor yang kompetitif.
Menurutnya, spesifikasi NaCl belum dipenuhi garam lokal. Garam rakyat yang diproduksi di Indonesia hanya memiliki kandungan NaCl sebesar 81%-96%.
“Yang dibutuhkan itu kualitas sama harga. Kalau lokal memenuhi, ya, lokal tapi sementara ini masih diimpor,” kata Tony, Senin (13/1/2020).
Sementara itu, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang menilai impor garam terpaksa dilakukan demi menjaga keberlangsungan industri dalam negeri. Garam selama ini menjadi bahan baku dan bahan penolong bagi industri seperti industri CAP, makanan dan minuman, farmasi, pertambangan, dan lain-lain.
“Selama pasokan garam dan gula untuk industri yang mempunyai requirement tinggi untuk produk-produknya mau tidak mau terpaksa kita harus impor, karena kita tidak boleh mematikan industri itu sendiri hanya karena tidak mempunyai bahan baku,” kata Agus di kantor Kemenperin.
Namun, anggapan kurangnya kualitas garam lokal untuk industri ditanggapi berbeda oleh sebagian pihak. Sekretaris Jenderal Aliansi Asosiasi Petani Garam Rakyat Indonesia (Sekjen A2PGRI) Faisal Badawi justru mengatakan kualitas garam dalam negeri tidak kalah dibanding garam impor.
“(Buktinya) ada beberapa perusahaan yang menggunakan pure garam lokal tapi masuk industri aneka pangan kok,” katanya.
Komitmen untuk menghentikan keran impor sebenarnya sudah muncul sejak era pemerintahan Presiden Joko Widodo. Anggota DPR RI periode 2014-2019 Bambang Haryo mengingat Jokowi pernah berkeinginan agar Indonesia dapat swasembada garam.
“Pak Jokowi dulu membangun tempat industri garam yang bisa penuhi mutu kualitas yang dibutuhkan industri. Sampai sekarang industri garam di Nusa Tenggara Timur sudah terealisasi sebagian walau belum memenuhi satu target,” ucap Haryo, Selasa (14/1/2020).
Jokowi memang pernah meninjau tambak garam eks tanah Hak Guna Usaha (HGU) di Desa Nunkurus, Kecamatan Kupang Timur, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), pada akhir Agustus 2019. Menurut Jokowi, NTT memiliki potensi tambak garam yang dapat dikerjakan seluas kurang lebih 21 ribu ha. Namun, masih sedikit yang mampu digarap.
Jokowi saat itu ditunjukkan perbandingan garam dari Madura, Surabaya, dan juga dari Australia. Ia pun menilai garam yang ada di NTT lebih bagus, lebih putih, bisa masuk ke industri, dan kalau diolah lagi bisa juga menjadi garam konsumsi.
Menurut Haryo, target swasembada itu semestinya sudah selesai dalam periode pertama pemerintahan Jokowi. Ia meyakini tambak garam di NTT bisa mencukupi kebutuhan garam industri sehingga tak perlu lagi impor.
“Kita harapkan impor tidak bertambah banyak karena dalam negeri sudah ada penambahan area industri garam yang berkualitas,” kata Haryo.
Direktur Jasa Kelautan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Miftahul Huda mengatakan, seluruh tambak di Indonesia punya potensi untuk memenuhi garam industri. Kelompok petambak di beberapa Kabupaten juga sudah berkomitmen untuk bisa menghasilkan produk garam industri.
“Sebenarnya [petambak lokal] bisa [produksi garam industri], cuma jumlahnya ngga sebanyak untuk industri. Contoh [industri] CAP butuh 1,2 juta ton dan dia harus continue karena dia produksi 24 jam. Itu yang susah dipenuhi ketika produksi [petambak lokal] 4-5 bulan per tahun,” kata Huda.
Itu belum termasuk selisih kebutuhan industri untuk garam sekitar 5,7 juta ton, sementara total produksi garam rakyat pada tahun 2020 hanya 3 juta ton.
Namun, bagi Huda hal utama saat ini adalah komitmen penyerapan garam petambak oleh industri sehingga bisa memperhitungkan kapan waktu yang tepat untuk mengimpor. Ia mengatakan ada komitmen dari industri menyerap 1,1 juta ton garam petani periode 2019-2020 dan 1,5 juta ton pada periode 2020-2021.
“Yang harus kita tertibkan adalah komitmen penyerapan, itu dilakukan dulu sehingga [tahu] kapan impor harus masuk,” ujar Huda. (cnbci)
Artikel ini ditulis oleh:
Eko Priyanto