Jakarta, Aktual.com — Dosen Sosiologi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, Lukuk Hamidah masih terus mengkritisi rencana pemerintah untuk masuk ke pasar bebas di wadah Trans Pacific Partnership (TPP) yang dikomandoi Amerika Serikat.

“Soal TPP ini susah untuk mencari kemaslahatannya. Lebih banyak kemudhorotannya. Karena, masih banyak kelompok yang akan tergilas akibat adanya liberalisasi itu,” tandas dia kepada Aktual.com, Minggu (20/3).

Menurutnya, selama ini model kerja sama yang sudah diikuti pemerintah Indonesia, pelaku usaha dalam negeri bukannya hanya megap-megap, tapi nyaris tidak bisa bernafas. “Karena kita tidak punya kesiapan. Seperti di sektor agrikultur, petani kita akan semakin sengsara,” lanjutnya.

Wakil Ketua LKK-NU ini menambahkan, kerja sama selama ini dalam format Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau pun kerja sama ASEAN plus China, Indonesia masih menjadi korban. Semua orang bilang, Indonesia lebihbbesar dari Thailand atau Vietnam, tapi faktanya banyak produk mereka ada di sini.

“Apalagi nanti jika jadi bergabung ke TPP yang anggotanya rata-rata negara maju, pasti UKM dan petani kita lebih keok lagi. Mestinya kita jangan terjebak dengan kepentingan AS ini. Kita hanya menjadi korban saja,” tandasnya.

Satu hal yang menjadi sorotan Wakil Sekjen PKB ini adalah, soal dicabutnya aturan proteksi dan subsidi. Ini nelas tamparan telak buat sektor pertanian Indonesia. Sementara petani di AS dan bahkan Selandia Baru selama puluhan tahun sudah disubsidi.

Sehingga petani mereka lebih kompetitif mulai dari soal mutu, teknologi, harga, dan lainnya, termasuk jugs kuat dari sisi politik. Karena mereka punya alat politik yang bisa mem-presure negara seperti Indonesia.

“Soalnya kita masih punya ketergantungan, seperti dari utang luar negeri dan lainnya. Sehingga pada tingkat itu, kita bisa kehilangan kedaulatan,” tandas dia.

Untuk itu, pemerintah diminta sadar agar Presiden Jokowi segera mencabut keputusannya untuk bergabung di TPP. Apalagi, sejauh ini pemerintah sendiri tidak jelas konsep proteksi dan strateginya jika tetap ngotot mau memasuki TPP.

“Sebab kalau semua harus diserahkan pada kontrol pasar dan mengikuti rezim pasar, maka sangat berat,” pungkas Luluk.

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan