Menteri Luar Negeri Retno Marsudi

Singapura, Aktual.com – Menteri Luar Negeri Retno P Marsudi menyampaikan bahwa Indonesia dan Singapura telah mencapai kemajuan dalam negosiasi “flight information region” (FIR atau kendali ruang udara).

“Kerangka negosiasi ‘FIR agreement’ sudah ditandatangani pada 12 September dan 7 Oktober 2019 tim teknis sudah bertemu, tim Indonesia sudah menyampaikan kepada pihak Singapura soal proposal Indonesia dan Presiden (Jokowi) minta tim teknis diintensifkan,” kata Menlu Retno di Singapura, Selasa (8/10).

Menlu Retno menyampaikan hal tersebut dalam konferensi pers bersama dengan Menteri Koordinator bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Koordinator bidang Perekonomian dan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi seusai menghadiri leader’s meeting di Istana Singapura.

Pada hari ini, Presiden Joko Widodo dan PM Lee Hsien Loong bertemu dalam Leader’s Retreat yang berlangsung setiap tahun sejak 2017 untuk membicarakan sejumlah bidang strategis kedua negara.

FIR yang dibicarakan terkait ruang udara yang mencakup wilayah teritorial RI dan Zona Ekonomi Eksklusif di wilayah Kepulauan Riau.

Pengambilalihan kendali ruang udara di Kepulauan Riau itu sebenarnya sudah diamanatkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, khususnya Pasal 458. UU tersebut memberi batas waktu hingga 2024. Presiden Joko Widodo sendiri melalui Instruksi Presiden tertanggal 18 September 2015 meminta agar pengambilalihan dilakukan lebih cepat, yaitu pada 2019.

“Intinya adalah ‘progress’ itu ada, dari barang yang sama sekali tidak ada yang pegang pada 2009 sejak UU Penerbangan agar bisa diambil alih pada 2024 tapi pergerakannya tidak begitu banyak sampai 2015, Presiden betul-betul memberikan instruksi agar proses pengambilalihan itu dapat dimulai. Sejak itu semua persiapan dilakukan baik teknis dalam konteks pemutakhiran peralatan dan sumber daya manusia,” tambah Retno.

Dalam konvensi International Civil Aviation Organization (ICAO) di Dublin, Irlandia, pada 1946, Singapura masih dikuasai Inggris, sementara Indonesia baru merdeka.

Inggris dianggap mumpuni secara peralatan dan sumber daya manusia. Oleh karena itu, Singapura dan Malaysia mengelola FIR di wilayah Kepulauan Riau. Singapura memegang kendali sektor A dan C, Malaysia mengendalikan sektor B.

Tahun 1993, Indonesia mencoba mengambil kembali FIR pada pertemuan ICAO di Bangkok. Upaya ini gagal. Indonesia dianggap belum memiliki peralatan dan infrastruktur yang memadai untuk mengendalikan FIR Kepri. Akibatnya, seluruh penerbangan di wilayah Kepri harus menunggu izin dari otoritas penerbangan Singapura termasuk untuk pesawat TNI AU.

“Teknis peralatan seperti ‘tower’ dimodernisasi, operator sumber daya manusianya kita lakukan dan sejak itu pembicaraan-pembicaraan teknis dilakukan. Saat kita bicara ruang udara ini ada juga bagian yang pada saat itu dikelola juga Malaysia, dari Singapura diturunkan ke Malaysia, ini biasa dilakukan,” jelas Retno.

Ia pun mengaku sudah bernegosiasi dengan Malaysia dan Singapura agar dapat menyelesaikan persoalan tersebut dan menangkap maksud baik kedua negara.

“Maka berdasarkan perundingan ada ‘joint submission’ ke ICAO karena hal ini bukan hanya diatur bilateral saja,” ungkap Retno.

Retno juga membantah masalah FIR adalah mengenai persoalan kedaulatan.

“Memang bukan isu kedaulatan, karena ini masalah teknis. Kedaulatan kita di ruang udara di atas laut dan kepulauan adalah milik kita, di aturan UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) jelas tidak bisa dibantah lagi,” tambah Retno.

Senada dengan Retno, Luhut mengaku bahwa isu FIR yang sudah berlangsung sejak puluhan tahun sudah disepakati kerangka negosiasinya dan hanya tinggal menyisakan isu minor.

“Kalau ada yang bertanya kenapa FIR (lama) begitu, ditargetkan selesai hingga akhir tahun ini, harus cari solusi bagaimana win-win solution tapi jangan bicara kedaulatan, saya tahu batas-batasnya,” kata Luhut.

Saat ini, jasa penerbangan dalam wilayah FIR mendatangkan devisa bagi Singapura apalagi makin banyak penerbangan di wilayah Kepri.

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan