Inti uji materiil adalah untuk membatalkan Permen-LHK P.17/2017 tersebut guna mempertahankan Undang-Undang yang lama, yaitu Permen-LHK No. P.12/MENLHK-II/2015 tentang Pembangunan HTI. Perkara tersebut diputuskan pada 2 Oktober 2017, yang ditangani oleh Hakim Is Sudaryono, Dr Hary Djatmiko dan Dr Supandi.

Nursal menjelaskan, dalam putusan MA disebutkan bahwa Pasal 1 angka 15 d, Pasal 7 huruf d, Pasal 8A, Pasal 8B, Pasal 8C ayat (1), Pasal 8D huruf a, Pasal 8E ayat (1), Pasal 8G dan Pasal 23A ayat (1) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yakni Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun.

“MA sudah menyatakan pasal-pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan tidak berlaku umum. Selain itu MA juga memerintahkan termohon (KLHK) untuk mencabutnya,” kata Nursal.

Karena itu, ia mengatakan atas dasar putusan MA tersebut, Nursal meminta agar Menteri LHK mencabut Keputusan No. SK.5322/MENLHK-PHPL/UHP.1/10/2017 tentang Pembatalan Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.173/VI-BPHKT/2010 dan Keputusan Menteri No.SK.93/VI-BUHT/2013 tentang Persetujuan Revisi Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri (RKUPHHK-HTI) untuk Jangka Waktu 10 tahun Periode 2010-2019 atas nama PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) di Provinsi Riau.

Sementara itu, Ketua Serikat Pekerja Bidang Kehutanan RAPP Adlin menambahkan, unjuk rasa para buruh dilakukan atas dasar keinginan pekerja karena nasib pekerjaan mereka terancam. Sebabnya, aturan baru KLHK tentang pembangunan HTI telah mengakibatkan pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan HTI kehilangan hak untuk mengolah kembali areal yang telah diberikan sesuai dengan peruntukannya karena dijadikan Kawasan Fungsi Lindung Ekosistem Gambut.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara