Jakarta, Aktual.com – Masifnya pemerintah yang menerbitkan Surat Utang Negara (SUN) berdenominasi rupiah ternyata lebih banyak dinikmati oleh investor asing. Kondisi ini dianggap rentan terhadap laju nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD).

“Inflasi saat ini masih rendah, tapi kita punya masalah yaitu volatilitas rupiah dari dana asing di SUN. Karena kebanyakan rupiah dipegang asing. Kondisi itu membuat ekspektasi terhadap rupiah jadi makin memburuk,” ujar pengamat ekonomi Yanuar Rizki, di Jakarta, Rabu (7/12).

Disampaikan, bank ikut aktif memburu SUN padahal pihak bank sebenarnya menyadari adanya ekspektasi dari volatilitas rupiah. Kondisi demikian akan menjadi beban di internal perbankan, karena biaya modal (cos of fund) juga akan meninggi.

“Jadi, bank itu terjebak dalam jangka pendek. Karena dia beli SUN dan sekuritisasi SUN-nya mau dipindahkan ke sektor ril. Sehingga berdampak bank seret kucurkan kredit lebih banyak. Padahal inflasi sudah rendah,” tandas Yanuar.

Di internal bank sendiri, lanjut dia, masih ada masalah besar. Mereka masih gencar memburu keuntungan dari marjin bunga (net interest margin/NIM), makanya NIM nya terus meninggi.

Kondisi itu membuat perbankan sendiri hanya mencari pembiayaan jangka pendek dan enggan untuk membiayai kredit jangka panjang atau pun instrumen investasi jangka panjang.

“Makanya, solusinya harus dipecahkan. Karena perbankan juga punya masalah yang perlu dipecahkan. Dengan NIM yg masih tinggi itu. Menurut saya perlu cepat harmonisasi kebijakan, antara kebijakan BI, OJK, dan pemerintah,” jelas Yanuar.

Dia menambahkan, kondisi dilapangan diparah karena SUN itu justru dibuat untuk menutup defisit anggaran. Mestinya SUN-nya itu terfokus.

“Kalau hanya menutup ruang defisit (anggaran) yang 3 persen, tinggal kasih ke BUMN, bisa lewat proyek ketahanan pangan, infrastruktur, dan lainnya, sehingga pemerintah bisa terbitkan obligasi terfokus. Nah itu bisa beli bank juga,” demikian dia.

(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid