Deklarasi, agar mudahnya kita sebut saja begitu, benar-benar berlangsung santai. Sama sekali tidak ada kesan formal. Siang itu bahkan tidak dibutuhkan loud speaker alias pelantang suara. Pasalnya, jarak duduk antara RR dan awak media begitu dekat. Meski demikian, suaranya terdengar jelas dan jernih.
Hidangan makan siang yang disajikan juga terbilang sederhana. Cuma ada nasi putih dan nasi goreng, capcay, ikan gurame asam manis, dendeng balado, sayur lodeh, dan ikan tongkol dimasak sambal. Oya, tuan rumah juga menyajikan gulai kambing yang ditambah sambal cabai rawit merah jadi sangat menggugah selera.
Di bagian dessert, ada tumpeng makanan kampung. Benar-benar makanan kampung bahkan ndeso. Yaitu, dongkal (penganan berbahan dasar singkong), ongol-ongol, rebusan jagung tanpa bonggolnya, ketan hitam, dan 2-3 jenis jajanan berbahan sagu dan singkong lainnya yang saya tidak tahu namanya.
Tapi yang paling seru, usai makan siang, wartawan disuguhi durian. Lokal saja, bukan durian monthong dari Thailand yang harganya di pasar swalayan seperti hendak menjangkau awan. Meski begitu, awak media terlihat bersemangat (kalau tidak mau disebut berebut) durian yang dibelah secara langsung. Rizal Ramli sendiri sudah mengganti kemejanya dengan kaus warna senada.
Eh, ngomong-ngomong soal belah durian, ada yang nyeletuk, “ini mah namanya deklarasi belah duren…” Belah duren, dengan huruf “e”, bukan “ia”..
Tapi, sepertinya filosofi durian cocok buat negeri ini. Untuk bisa menikmati daging durian, kita harus mengupas kulitnya yang beduri tajam. Tidak mudah, lho. Salah-salah bisa melukai tangan. Diperlukan pisau yang tajam dan tangan ahli yang terampil. Kalau cara memotong buahnya tidak akurat sesuai dengan uratnya, maka durian tidak bisa dibelah. Paling tidak, belahannya tidak pas pada bagian-bagian yang menyimpan dagingnya yang lezat dan semerbak.
Begitu juga dengan bangsa Indonesia. Kalau mau menikmati ‘durian’ pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan, dan keadilan, diperlukan pisau tajam dan tangan yang ahli. Juga perlu tenaga cukup kuat untuk membelah durian. Tanpa kombinasi ketiganya, kita hanya harus puas memandangi durian yang lezat itu.
Sayangnya, selama ini yang ada hanyalah pisau tumpul dan tangan-tangan amatiran. Lebih buruk lagi, para amatir tadi sok jago dan mabuk kepayang oleh guyuran pujian para majikan asingnya. Pujian yang beracun dan mematikan…
Jakarta, 7 Maret 2018
Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for economic and Democracy Studies (CEDeS)