Masih kata Rizal, semasa masih di kabinet, pihaknya tidak memiliki rencana merekomendasikan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) untuk menerbitkan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI dengan cuma-cuma. Klaim dia, ketika itu obligor bisa mendapatkan SKL bilamana sudah melunasi hutangnya.
“Kami waktu itu dalam pemerintahan Gus Dur, SKL dikeluarkan kalau memang sudah lunas, artinya aset-asetnya sudah diserahkan senilai besarnya BLBI yang diberikan,” tutur Rizal.
Maka dari itu, sambung dia, wajar jika kemudian Komisi Pemberantasan Korupsi mempertanyakan penerbitan SKL BLBI untuk Sjamsul Nursalim selaku pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI). Pasalnya, ada nominal Rp 3,7 triliun yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.
“Nah, yang jadi pertanyaan KPK, belum lunas kok sudah diberikan SKL? Ada masalah di situ. Kok bisa orang yang masih punya hutang sudah diberi SKL. Tapi persisnya KPK yang bisa menjawab,” pungkasnya.
Seperti diketahui, Syafruddin Arsjad Temenggung ditetapkan sebagai tersangka selaku Kepala BPPN periode 2002-2004. Ia diduga menyalahgunakan kewenangannya sebagai Kepala BPPN dalam menerbitkan SKL BLBI untuk Sjamsul Nursalim, pengendali saham BDNI.
Artikel ini ditulis oleh:
Nebby