Atas dugaan penyalahgunaan kewenangan yang ia lakukan timbul kerugian keuangan negara setidak-tidaknya Rp 3,7 triliun.

Kerugian negara itu timbul lantaran masih terdapat kewajiban Sjamsul setidaknya Rp 3,7 triliun tak ditagihkan. Padahal sesuai mekanisme, SKL BLBI baru bisa diterbitkan apabila Rp 3,7 triliun itu bisa dibayarkan oleh Sjamsul melalui penyerahan aset yang setara.

Penerbitan SKL BLBI untuk Sjamsul berawal dari usulan Syafruddin kepada Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), yang beranggotakan Menko Ekuin, Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Menteri Negara BUMN, Jaksa Agung, Kapolri, serta Kepala BPPN.

Kala itu, sekitar Mei 2002, Syafruddin meminta KKSK menyetujui perubahan atas proses litigasi menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset milik Sjamsul selaku pengendali Saham BDNI kepada BPPN senilai Rp 4,8 triliun.

Singkat cerita, terjadilah rekstrukturiasi dan memunculkan, dari Rp 4,8 triliun, Rp 1,1 triliun dinilai ‘suistanable’, serta dapat ditagihkan ke petani tambak, nasabah BDNI. Sisanya, Rp 3,7 triliun tak dilakukan pembahasan saat proses restrukturiasinya.

Dengan kata lain, masih ada kewajiban Sjamsul senilai Rp 3,7 triliun yang tidak ditagihkan. Sementara SKL BLBI sudah diterbitkan oleh Kepala BPPN.

Laporan: M Zhacky Kusumo

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby