Ia juga menceritakan bahwa pada waktu itu para pemilik bank yang dibantu kredit BLBI pada dasarnya akan dibantu dengan uang tunai.
“Jadi meminjam tunai harus dikembalikan dengan tunai tetapi pada Pemerintahan Habibie dilobi diganti tidak usah bayar tunai asal menyerahkan aset saham, tanah, dan bangunan perusahaan. Kalau obligornya itu benar dia serahkan aset yang bagus yang sesuai dengan nilainya tapi juga ada kasus-kasus di mana dia menyerahkan aset “busuk” yang nilainya itu tidak sepadan,” kata Rizal.
Rizal mengaku dirinya dipanggil KPK dalam kapasitasnya sebagai mantan Menko Perekenomian dan Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) pada saat itu.
“Tetapi kejadian yang diselidiki oleh KPK ini terjadi setelah saya tidak lagi jadi Ketua KKSK dan tidak lagi jadi menteri tetapi oleh Menko yang baru di pemerintahan setelah Gus Dur. Saya dimintai keterangan karena saya ketahui prosedur proses dalam pengambilan keputusan masalah-masalah yang ada di BPPN. Sebelumnya, KPK juga sudah memanggil Kwik Kian Gie yang jadi Menko sebelum saya menjabat untuk mengetahui proses dalam prosedur yang terjadi,” tuturnya.
Sebelumnya, Syafruddin Arsyad Tumenggung (SAT) selaku Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) diduga menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan kesempatan atau sarana padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan perekonomian negara dalam penerbitan SKL kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali BDNI pada tahun 2004.
Atas penerbitan SKL itu diduga kerugian negara sekurang-kurangnya mencapai Rp3,7 triliun. Terhadap SAT disangkakan Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Ant
Artikel ini ditulis oleh:
Nebby