Rizal Ramli mengkritik penertiban kawasan kumuh yang dilakukan Ahok. Mantan Menko Kemaritiman itu menilai langkah Ahok bukan langkah pemimpin yang baik dengan tak memberikan solusi.

Jakarta, Aktual.com – Adanya penolakan dokumen Pemerintah Indonesia oleh Induk Perusahaan PT Freeport Indonesia (PTFI) yakni Freeport-McMoRan atas keberlanjutan kontrak PTFI yang beroperasi di Papua, tidak begitu mengherankan bagi Rizal Ramli.

Menurut keterangan Rizal yang telah aral melintang dalam pemerintahan dan pernah secara langsung bersentuhan dengan perusahaan asal Amerika Serikat itu, bahwa sudah menjadi tabiat perusahaan Freeport bersikap arogan dan bertindak ‘kotor’ atas eksploitasi kekayaan mineral Indonesia.

Dalam merespon atas penolakan dokumen pada Kamis (28/9) itu, Rizal melakukan beberapa postingan diakun sosial medianya. Sebenarnya mengenai Freeport ini telah berulang kali dijelaskan oleh Rizal melalui berbagai kesempatan. Bahkan pada Maret silam, di Hotel Borobudur Jakarta, secara gamblang Rizal mengungkapkan sepak terjang kejahatan Freeport di Indonesia.

Pada saat itu Rizal Ramli menyebut Kontrak Karya (KK) kedua yang ditandatangani pada Tahun 1991 dinyatakan cacat hukum karena perusahaan asal Amerika Serikat itu melakukan sogok terhadap Menteri Pertambangan kala itu.

“Kontrak Freeport yang kedua ditandatangai Tahun 1991 cacat hukum, karena Menteri Pertambangan Indonesia waktu itu disogok dengan saham 10 persen,” kata Rizal di Hotel Borobudur Jakarta, ditulis Minggu (5/3).

Sebab itulah lanjut Rizal, isi kontrak tersebut tidak banyak berubah dari KK pertama yang ditandatangani pada tahun 1967 yang memang dirasa tidak berkeadilan.

“Oleh karena itu syarat-syarat kontrak yang kedua itu tidak berbeda dengan kontrak pertama tahun 1967. Namun kemudia Presiden Soeharto mengetahui dan marah sekali karena Menteri Pertambanganya main sendiri dan menerima sogokan. Akhirnya diperintahkan Bob Hasan untuk mengambil saham yang 10 persen itu,” ungkap Rizal.

Namun, dalam kondisi saat ini, Rizal Ramli menuntut kepada semua pihak agar bertindak adil dalam pengelolaan kekayaan alam milik negara.

“Ini yang saya bilang, sudahlah jangan tipu-tipu lagi, kita ini sudah pintar semua. Kawanan kita dari Papua sudah banyak yang pintar-pintar. Adik-adik kita dari Papua banya menang lomba ilmiah olimpiade. Artinya cerdas-cerdas asal diberi kesempatan,” tegas dia.

Sesungguhnya upaya Rizal Ramli memperjuangkan agar pertambangan Freeport di Papua diselenggarakan dalam kedudukan yang berkeadilan, sudah dimulai puluhan tahun sebelum ia diangkat menjadi seorang menteri.

“Sejarah saya dengan Papua panjang sekali. Tahun 1997, kami studi tentang Papua. Luar biasa kaya (daerahnya),” ungkap

Hasil penelitian itu membuat Rizal terhenyak. Tiga juta penduduk Papua hidup di bawah garis kemiskinan di tengah kekayaan alam yang mereka miliki. Hingga akhirnya Rizal membentuk tim untuk mempelajari tambang PT Freeport Indonesia yang ada di sana sejak tahun 1967.

Sejumlah temuan data dikumpulkan oleh Tim Peneliti RR saat itu. Mulai dari perpanjangan Kontrak Karya (KK) tahun 1991-2021 yang cacat hukum. Hingga, dugaan suap pimpinan Freeport James Moffett terhadap Menteri Pertambangan di masa pemerintahan Presiden Soeharto.

Pada saat Rizal diangkat Presiden RI Abdurahman Wahid (Gusdur) sebagai Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri Indonesia tahun 2000, James Moffett semakin panas dingin, takut dugaan suap yang dilakukannya ditindaklanjuti oleh Rizal.

Bos Freeport itu pun mengatur pertemuan dengan Rizal terkait renegosiasi pemerintah dengan perusahaannya.

“Tahun 2000, waktu saya jadi Menteri Ekonomi, saya lagi di New York. Pimpinan Freeport, James Moffett ngajak ketemuan. Mau negosiasi, katanya,” ujar Rizal yang sempat menjadi Menko Maritim di era Pemerintahan Jokowi ini.

Menurut Rizal, ada aturan di Amerika, yang dapat menjebloskan seseorang yang terkait kasus suap. Sehingga Moffet pun berupaya mendinginkan suasana dengan menemui Rizal yang mengetahui kasusnya.

Setelah Rizal lapor dan diijinkan Gus Gur, kedua pihak bertemu dengan membawa tim masing-masing. Saat itu, Rizal mengajak ekonom (almarhum) Arief Arryman untuk presentasi menggunakan data dari New York Stock Exchange. Sedangkan, Moffet menyertakan Presiden Direktur Freeport Indonesia, Adrianto Magribi.

He (Magribi) should wait outside (Dia, Magribi, harus menunggu di luar), kita tidak mau debat kusir dengan bangsa sendiri. Moffet setuju,” Rizal menceritakan permintaannya pada Moffet sebelum rapat dimulai.

Dalam pembicaraan, Moffet mengatakan, mereka siap membayar ganti rugi ke pemerintah Indonesia sebesar 3 miliar dolar AS. Dengan syarat, lupakan masa lalu. Khususnya, kasus dugaan suap Moffet.

Setelah berbagai pertimbangan berdasarkan hasil presentasi Arief, Rizal mengajukan angka 5 miliar dolar AS dan divestasi saham 51 persen.

Tawaran ini didasarkan pada kenyataan bahwa keuntungan luar biasa PT Freeport tidak sebanding dengan kerugian yang dialami masyarakat sekitar tambang. Termasuk, hasil pembuangam limbah yang tidak pernah diproses.

James Moffet setuju, tapi masih harus didiskusikan dengan direksinya. Namun, mendadak Moffet menawarkan rapat lanjutan di Colorado Spring. Apalagi setelah dia tahu Rizal menyukai opera dan pertunjukan teater di Broadway.

“Saya gebrak meja. James, kamu mau sogok saya? Saya bisa nonton opera anytime. Yang penting kamu bayar 5 miliar dolar AS. Syarat dipenuhi,” tegas Rizal saat itu.

Dari kisah itu, Rizal menyampaikan, jika tegas dan berani, orang luar pun tidak akan bertindak seenaknya dengan bangsa Indonesia.

“Jangankan beli saham Freeport Indonesia, yang (Freeport) internasional juga bisa kita beli,” tegasnya.

Selain Arief Arryman, tim negosiasi yang dibentuk Presiden Gus Dur dan dipimpin Rizal Ramli ketika itu juga beranggotakan Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro dan Menteri Luar Negeri Alwi Shihab.
Dadangsah Dapunta

Artikel ini ditulis oleh: