Jakarta, Aktual.com – Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga kini belum juga menahan mantan Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II, Richard Joost Lino.
Padahal, sejak 18 Desember 2015 yang bersangkutan telah menyandang status tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan tiga unit Quay Container Crane (QCC) di Pelindo II pada 2010 silam.
Setahun lebih satu hari tidak ada perkembangan signifikan dalam penyidikan kasus QCC yang menjerat Lino. Bahkan, ia baru satu kali diperiksa selaku tersangka yakni pada Jumat 5 Februari 2016.
Apakah kasus Lino baru akan diusut setelah pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla lengser, seperti halnya kasus dugaan korupsi proyek Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP), yang baru diusut setelah rezim Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono purna tugas?
Menurut Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, memang pihaknya menghadapi kendala yang cukup berat. Dalihnya, hambatan itu datang lantaran pengadaan QCC ini lintas negara antara Indonesia dengan China.
“Perlu dipahami bila ada singgungan dengan wilayah negara maka butuh waktu,” jelas Febri saat jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Senin (19/12).
Kendati demikian, sudah satu tahun kasus yang menyebabkan kerugian keuangan negara sekitar 3,6 juta dolar Amerika Serikat. Pertanyaannya kemudian mengarah kepada adanya dugaan tekanan politik yang menyelimuti KPK. Sebab, bukan rahasia lagi bahwa Lino memang ‘dekat’ dengan penguasa saat ini.
Namun Febri membantah dugaan tersebut. “Tidak ada tekanan,” tegasnya.
Febri pun sesumbar bahwa penyidikan kasus pengadaan QCC ini tetap berjalan. Bahkan, sambung dia, sejumlah anggota penyidik KPK sudah diberangkatkan ke China untuk menelusuri perbandingan harga QCC.
“Saya harus cek detilnya apakah termasuk teknis penyidikan yang bisa digunakan atau tidak. Yang jelas, bila bisa digunakan itu signifikan,” katanya.
Berdasarkan hasil audit investigatif Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Nomor LHAI-244/D6.02/2011, kerugian keuangan negara akibat dugaan korupsi pengadaan tiga unit QCC di Pelindo II ialah sebesar 3.625.922 dolar AS.
Perhitungan itu juga merujuk pada analisa perhitungan ahli teknik dari Institut Teknologi Bandung (ITB). Ahli dari ITB ini sempat diminta KPK untuk melakukan kunjungan untuk mengecek secara fisik dan estimasi harga fasilitas crane Pelindo II di tiga pelabuhan, Pelabuhan Panjang, Pontianak dan Palembang.
Hasilnya ditemukan bahwa ada perbedaan yang cukup signifikan mengenai analisa estimasi biaya dengan memperhitungkan peningkatan kapasitas QCC dari 40 ton menjadi 61 ton, serta eskalasi biaya akibat perbedaan waktu kontrak dari produsen yang sama.
Lino sendiri disangka melanggar Pasal 2 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.[M Zhacky Kusumo]
Artikel ini ditulis oleh:
Andy Abdul Hamid