Jakarta, Aktual.co —Hari kedua ujicoba penerapan pelarangan motor melintas jalan protokol MH Thamrin-Medan Merdeka Barat, masih menuai protes dari pengendara kendaraan roda dua. Penyebabnya, urusan perjalanan menuju ke tempat kerja bagi para pengendara motor dianggap jadi lebih ribet.
Salah satunya dilontarkan Simanjuntak (36). Pengendara motor ini mengaku tidak setuju dengan peraturan yang membuatnya harus menghabiskan waktu lebih lama saat berangkat ke tempatnya bekerja.
“Bikin repot saja aturan ini. Harusnya cepat sampai kantor, tapi sekarang harus parkir motor dulu lah, lalu nunggu bis dulu lah. Banyak makan waktu saja,” keluhnya, saat ditemui Aktual.co ketika sedang menumpang Transjakarta, Kamis (18/12).
Belum lagi pengeluaran yang jadi bertambah dengan peraturan itu. Lantaran dia harus mengeluarkan uang lebih banyak untuk bayar parkir. Simanjuntak mengaku memarkirkan motor di parkiran Sarinah. “Parkir satu jam Rp2.000. Kalau delapan jam sudah Rp16.000. Duit lagi kan harus keluar. Belum buat bensin,” ujar dia kesal.
Kalau Pemprov DKI memang berniat bebaskan Ibukota dari kemacetan dengan memberlakukan kebijakan itu, kata Simanjuntak, jangan setengah-setengah memberlakukannya. “Jangan hanya motor yang dilarang melalui jalan protokol. “Tuh kau bisa lihat yang bikin macet itu kan justru mobil.”
Keluhan juga dilontarkan oleh Uchok Sky Khadafi. Sebagai pengguna motor, peneliti anggaran dari Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) itu menilai yang diuntungkan dari kebijakan itu adalah para pemilik lahan parkir swasta.
“Bisnis parkir itu sangat empuk, enak buat pemilik lahan parkir. Jadi motor sebagai objek buat mereka dan itu keuntungannya ga masuk ke kantong DKI kan ya,” ujar dia, saat dihubungi Aktual.co beberapa waktu lalu.
Merasa dianaktirikan, dengan pelarangan itu Uchok mengaku ruang geraknya jadi terbatas. Belum lagi soal efesiensi waktu. “Karena kalau pakai bus atau mobil umum kan waktu perjalanan jadi tidak bisa ditebak. Kalau naik motor kita bisa menebak misal sampai tempat tujuan dalam berapa menit,” ucap dia.
Serupa dengan yang dilontarkan Simanjuntak, menurut Uchok, peraturan ini juga membuat membengkaknya biaya transportasi masyarakat pengguna motor untuk sampai tujuan.
“Kalau kita naik bus Transjakarta kan harus nambah ongkos. Lebih mahal ketimbang naik motor. Kelihatannya peraturan ini dipaksakan Ahok (Gubernur DKI) agar masyarakat kelas menengah menyingkir dari pusat kota. Sama seperti naiknya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), bisa jadi pelarangan motor ini model penjajahan baru,” tudingnya.
Artikel ini ditulis oleh:
















