Jakarta, Aktual.com – Anggota Komisi IX DPR RI Irma Suryani Chaniago menilai, penaikan harga rokok hingga Rp50.000 per bungkus bukanlah solusi untuk bisa menurunkan jumlah perokok.

Dia pun tak yakin jumlah perokok dewasa dan perokok remaja akan berkurang. Paling-paling, menurutnya, yang akan berkurang adalah jumlah konsumsinya. Dimana semula sehari 2 bungkus menjadi hanya satu bungkus.

“Remaja atau mahasiswa yang tadinya satu bungkus jadi setengah bungkus. Remaja yang tadinya setengah bungkus menjadi dua atau tiga Batang. Jika yang terjadi seperti tu tentu tidak significant untuk dapat perbaiki kesehatan masyarakat. Karena paparan nikotin tidak hanya berbahaya bagi perokok berat tapi juga bagi semua perokok ringan dan bahkan perokok pasif,” ujar Irma di Jakarta, Minggu (21/8).

Sebagai contoh, lanjutnya, pemerintah menaikkan harga minuman keras, tapi pengkonsumsi miras tidak berkurang. Justru, mereka mencari jalan keluar dengan menjual atau membeli miras oplosan. “Dan kita tahu apa resiko miras oplosan terhadap masyarakat yang mengkonsumsinya. Selain sangat berbahaya bagi kesehatan, pengkonsumsi miras oplosan juga berpotensi meningkatkan jumlah pelaku kriminal,” kata Politisi NasDem itu.

Untuk Itu, Irma menyarankan, sebelum mengeluarkan regulasi menaikkan harga rokok, pemerintah perlu mengkaji beberapa hal terlebih dahulu. Pertama, karena merokok dua bungkus sehari dengan merokok satu bungkus per hari. Dan yang merokok dua atau tiga batang perhari tidak beda resiko dampaknya terhadap kesehatan.

Kedua, menaikkan harga rokok belum tentu menguntungkan petani tembakau dan buruh pabrik rokok. “Upah buruh belum tentu naik, juga harga tembakau. Bahkan karena berkurangnya konsumsi rokok akan mengakibatkan terjadinya PHK,” cetus Irma.

Ketiga, kenaikan harga rokok cenderung hanya menguntungkan pabrik rokok saja. Tidak berdampak pada kesejahteraan buruh dan petani tembakau. Keempat, penambahan besaran cukai rokok tidak akan berpengaruh pada kesehatan masyarakat jika hasil fari cukai rokok tidak dikembalikan untuk kesehatan masyarakat.

Kelima, jika pemerintah tetap akan menaikkan harga rokok, perlu mengantisipasi dampak PHK Buruh pabrik dan berkurangnya produksi petani tembakau. Ke enam, hasil penaikan cukai rokok harus dikembalikan untuk menjamin kesehatan masyarakat dengan menggratiskan biaya pengobatan untuk seluruh rakyat dikelas 3 (masyarakat dengan pendapatan UMR kebawah).

Untuk hal tersebut, sambungnya, pemerintah bisa mengalokasikan 50% dari hasil cukai rokok untuk membiayai BPJS kesehatan. BPJS kesehatan, kata Irma, hanya butuh kurang lebih 100 Triliun untuk membiayai pengobatan masyarakat dikelas 3. Bagi masyarakat yang mampu (dengan Gaji diatas UMR ) tetap bisa memilih Untuk ikut BPJS Mandiri atau ikut Asuransi swasta.

“Dengan demikian hasil kebijakan menaikkan harga rokok tidak hanya untuk menambah pendapatan pabrik rokok dan pemerintah saja tetapi juga dapat menghadirkan pemerintah ditengah masyarakat dengan jaminan kesehatan bagi masyarakat kelas bawah,” pungkasnya.

Laporan: Nailin Insaroh

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid