Jakarta, Aktual.co — Jakarta, Aktual.co —Peneliti dari Lembaga Demografi Universitas Indonesia (UI) Abdillah Ahsan mengatakan, berbagai potensi pembangunan yang dipicu bonus demografi di Indonesia menjadi rusak karena konsumsi rokok yang tidak dikendalikan di dalam negeri.
“Bonus demografi tidak mudah diperoleh. Masyarakat yang jumlahnya besar akan sangat bermanfaat bagi pembangunan jika kualitas hidupnya tinggi tapi rokok menurunkan kualitas itu,” kata Abdillah di Kantor IDI, Menteng, Jakarta, Selasa (11/11).
Menurut dia, bonus demografi akan menjadi kekuatan suatu negara jika penduduknya berpendidikan dan memiliki kesehatan berkualitas.
“Semakin baik dua unsur itu maka semakin baik pula suatu negara, tapi rokok kembali merusaknya. Jika dikaitkan dengan bonus demografi maka bonus itu seharusnya menjadi kekuatan,” kata dia.
Di Indonesia justru yang terjadi sebaliknya. Kualitas kesehatan dan pendidikan terancam oleh banyaknya perokok. Aktivitas merokok memicu penyakit dan kurangnya pendidikan.
“Anak SD dan SMP kini sudah merokok, maka pada 2030 nanti saat mereka masuk pasar kerja mereka tidak sehat lagi. Sementara bagi masyarakat miskin justru biasanya sang bapak lebih memilih belanja rokok daripada untuk biaya pendidikan dan membeli makanan bergizi,” katanya.
Bonus demografi, kata Abdillah, justru menjadi semacam bumerang yang menghambat pembangunan bangsa.
“Para perokok itu tidak menjadi aset tapi malah menjadi beban negara karena negara harus menanggung beban biaya kesehatan mereka. Anggaplah anak muda sekarang merokok, kemudian pada usia 30 tahun mereka bekerja dan pada umur 50 tahun berhenti karena gangguan kesehatan. Selain dia sakit, dia juga tidak dapat bekerja dan menjadi beban bagi lainnya,” kata dia.
Karena itu, Indonesia harus melindungi bonus demografi itu dengan melakukan pembatasan peredaran rokok dengan pajak, cukai tinggi, pembatasan peredaran rokok dan ratifikasi kerangka perjanjian kontrol tembakau internasional (FCTC).
Dengan begitu, tidak akan ada gangguan produktivitas pada usia kerja. Sebab, kontribusi maksimal penduduk bisa dilakukan pekerja tanpa rokok.
Instrumen ekonomi berupa cukai dan pajak rokok dinilai efektif mengurangi keterjangkauan harga rokok. Terutama oleh kelompok rentan seperti anak-anak, remaja dan kelompok masyarakat berpendapatan rendah.
Berdasarkan data Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan, delapan dari seribu orang merupakan perokok di tahun 2007. Angka itu meningkat menjadi 12 dari seribu orang di tahun 2013. Rokok sendiri menjadi pemicu sejumlah penyakit dengan biaya pengobatan mahal seperti hipertensi dan stroke.
“Dengan semakin tumbuhnya jumlah perokok itu tentu menjadi masalah bagi negara juga, meski terjadi suatu bonus demografi,” kata dia.
Untuk itu, dia mendorong Indonesia segera meratifikasi FCTC. FCTC sendiri dapat membuat Indonesia mampu mengendalikan peredaran produk tembakau dan tetap memperoleh manfaat ekonomis.
Artikel ini ditulis oleh:
Andy Abdul Hamid