Yogyakarta, Aktual.com – Gonjang-ganjing soal jalur perseorangan versus jalur partai politik (parpol) Pilkada DKI tengah mencuat. Dipicu sikap Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dengan dukungan relawannya, TemanAhok yang merasa punya ‘harga jual’ tinggi. Sehingga dengan jumawa berani meminta partai sekelas PDI-P untuk memohon dulu jika ingin pinang Ahok di Pilkada 2017.
Sikap yang membuat berang PDI-P dan berujung pada munculnya wacana ancaman ‘deparpolisasi’ dengan adanya jalur perseorangan di pemilu. Bagaimana sebenarnya asal muasal munculnya jalur perseorangan di demokrasi Indonesia?
Kontributor Aktual.com di Yogyakarta, Nelson Nafis coba mencari jawabannya dengan menemui pakar hukum tata negara dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Dr. Saifudin, S.H., M.Hum.
Saifudin menuturkan, munculnya jalur perseorangan untuk bertarung di pilkada Indonesia pertama kali dicetuskan seorang Anggota DPRD Kabupaten Lombok dari Fraksi Partai Bintang Reformasi (PBB) bernama Ronggolawe.
Awalnya, di tahun 2007 lalu, Ronggolawe berniat ikut Pilkada lewat jalur perseorangan. Namun niatnya ternyata ditolak Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) setempat yang berpegangan pada UU No. 32 Tahun 2004.
Tidak menyerah begitu saja, Ronggolawe pun menggugat UU 32 dengan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Berhasil, permohonannya dikabulkan MK. Sejak itulah jalur perseorangan dibuka bagi calon-calon yang ingin maju bertarung di Pilkada tanpa harus diusung parpol.
Kendati demikian, sambung Saifudin, bukan perkara mudah bagi seseorang untuk lolos maju lewat perseorangan di Pilkada. Sejumlah peraturan sudah dibuat agar individu tidak begitu saja maju pilkada.
Di Peraturan KPU (PKPU) Nomor 9 tahun 2015 di Pasal 9 Ayat 1 misalnya, disebutkan kalau calon perseorangan dari provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 6 juta jiwa sampai dengan 12 juta jiwa harus didukung paling sedikit 7,5 persen dari total Daftar Pemilih Tetap (DPT) dari pemilu sebelumnya.
Penggunaan DPT itu juga merupakan hasil dari revisi yang dilakukan MK di September 2015 terhadap Pasal 41 Ayat 1 dan 2 di UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada. Yakni terkait suara konsituen, dari awalnya kata ‘Penduduk’ menjadi ‘Daftar Pemilih Tetap’ (DPT).
Saifudin tidak menafikan potensi munculnya sejumlah problematika dengan adanya jalur perseorangan. Untuk hal ini, Saifudin hanya menjawab secara normatif saja.
Kata dia, “Kita memilih demokrasi, sejelek apapun mekanismenya gak mungkin menghindarkan diri dari proses pemilihan yang ada, kecuali kita negara otoriter. Ini memang problematik. Jika kita telah memilih demokrasi, instrumen pemilihan yang diatur dalam Undang-Undang tidak bisa dielakkan.”
Hanya diingatkan dia, dalam komunikasi politik ke depan pada akhirnya semua pihak harus saling bekerjasama. “Semua stakeholder yang terlibat harus harmonis. Pilihannya adalah mau bersikap sebagai negarawan atau sebagai politisi?” ujar Saifudin yang merupakan sosiologi perundang-undangan ini.
Artikel ini ditulis oleh:
Nelson Nafis