Ruang Publik, Partisipasi dan Kekerasan (Aktual/Ilst)
Ruang Publik, Partisipasi dan Kekerasan (Aktual/Ilst)
Yudi Latif Cendekiawan NU Pengamat Kompas/Heru Sri Kumoro (KUM) 27-01-2015
Oleh: Yudi Latif

Ruang publik ideal, dalam pandangan Habermas, adalah domain tempat opini publik terbentuk yang menjamin berlangsungnya komunikasi bebas penguasaan serta argumen yang kritis dan rasional. Para partisipan dalam wacana publik tidak terhambat oleh ketidaksetaraan dan pemaksaan sehingga terjadi proses belajar secara kolektif.

Seiring dengan perkembangan suatu masyarakat dari kehidupan tradisional menuju modern, arena untuk proses belajar kolektif (collective social learning) ini beralih dari ikatan-ikatan komunal-tertutup menuju asosiasi-terbuka, dari ikatan-ikatan keturunan dan kasta menuju masyarakat kelas. Bentuk komunikasi dan belajar sosial (social leraning) yang diciptakan dan dipraktekkan oleh asosiasi-asosia awal (masyarakat-masyarakat pencerahan) di Barat, misalnya, menjadi fondasi bagi model masyarakat modern. Model ini disebut “civil society” yang selanjutnya membentuk karakteristik-karakteristik asosiasi, kesamaan hak untuk berpikir bebas, berbicara, dan berserikat sebagai basis penciptaan civil society tersebut. “Ketika proses belajar yang kompleks ini bisa diorganisasikan, ide tentang organisasi demokratis dari civil society semakin dalam ditransformasikan ke dalam suatu postulat organisasi demokratis bagi kesejahteraan masyarakat. Ide ini memuncak pada ide tentang realisasi demokratis bagi kebaikan hidup oleh civil society (Eder, 1993: 24).

Dalam konteks Indonesia, Orde Reformasi menjadi momentum bagi keterbukaan ruang publik dan pemberdayaan civil society. Hal ini ditandai oleh penguatan kembali hak-hak sipil, kebebasan berpendapat, berkumpul dan berorganisasi, yang selama Orde Lama dan Orde Baru dikekang oleh negara. Walaupun demikian, nilai-nilai demokrasi tidak bisa ditegakkan dengan mudah di tengah tingkat pendidikan rendah, buruknya situasi ekonomi, dan lemahnya supremasi hukum. Bahkan transisi demokrasi dan reformasi politik tanpa dukungan tertib hukum dan keadilan sosial-ekonomi seringkali dibarengi dengan tindakan-tindakan anarkis, konflik sosial dan kekerasan etno-religius.

Di masa transisi demokrasi, kekuatan civil society sangat penting dalam mendukung demokrasi. Namun kekuatan civil society tergantung pada persyaratan yang harus dipenuhi. Pertama, adanya ruang publik yang bebas sebagai sarana untuk perdebatan publik. Dalam ruang publik yang bebas, setiap individu mempunyai posisi yang sama satu sama lain dalam melakukan transaksi-transaksi wacana dan praktik politik tanpa mengalami tekanan dan distorsi. Kedua, keadaan yang demokratis yang memungkinkan adanya kebebasan bagi warga negara, terpeliharanya hak-hak asasi manusia dan ketertiban umum. Ketiga, kuatnya sikap toleran yang memungkinkan adanya saling menghargai setiap perbedaan dan menghormati aktivitas yang dimiliki orang lain. Keempat, keadilan sosial-ekonomi yang menjadi basis kesetaraan dalam partisipasi politik.

Dengan kata lain, penguatan demokrasi dan civil society mengandaikan adanya kebebasan yang bersejalan dengan keadilan. Dalam hal kebebasan, jika pada sistem politik otoritarian, ancaman utama dari civil society muncul dari negara, dalam sistem demokratis, ancaman itu justru muncul dari kekuatan-kekuatan civil society, yakni berupa kemunculan fanatisisme komunalistik. Fanatisisme merupakan antipoda atas civil society karena menolak rasionalitas, prinsip representasi dalam politik serta pemerintahan hukum (konstitusional) sebagai bantalan vital demokrasi. Menurut Huntington, kelompok-kelompok marjinal yang terlempar dari gelanggang politik formal akan mengembangkan fanatisisme dan cenderung bersikap “iri” (resentment) terhadap kebebasan, partisipasi dan modernisasi.

Tetapi fanatisisme tidaklah muncul tanpa akar. Ia muncul akibat terganggunya basis-basis keadilan dan distorsi komunikasi dalam ruang publik. Berdasarkan pengalaman, banyak kekerasan dan konflik sosial terjadi akibat ketidakadilan (nyata maupun perseptual) serta deprivasi sosial. Kedua hal ini diakibatkan terutama oleh diskrepansi dalam alokasi sumberdaya baik pada tingkat domestik maupun internasional serta lumpuhnya daya-daya komunikatif karena subordinasi dunia kehidupan (lifeworld) oleh dunia sistem.

Tulisan berikut akan memberikan perhatian pada tegangan antara partisipasi (kebebasan) dan fanatisisme dalam ruang publik Indonesia pasca Orde Baru.

Trayek Kebebasan dan Partisipasi

Runtuhnya Orde Baru pada bulan Mei 1998 memberikan harapan bagi tumbuhnya nilai-nilai demokrasi dan penguatan civil society. Indonesia memasuki masa transisi menuju demokrasi. Namun masa transisi bukan berarti Indonesia otomatis menuju negara yang demokratis. Menurut pengalaman transisi di Amerika Latin dan Eropa Timur, transisi mengarah pada tiga kemungkinan: transisi membawa sistem pemerintahan dari sistem otoriter ke sistem pemerintahan demokratis, transisi akan mengarah pada kembalinya sistem otoriter, atau transisi akan tetap bertahan pada keadaan tidak pasti dan jika tidak ada yang bisa mengendalikan keadaan, transisi akan mengarah pada keadaan yang lebih buruk dari sebelumnya. Belajar dari pengalaman negara-negara yang berhasil menggantikan pemerintahan otoriter dengan pemerintahan demokratis, kekuatan civil society menjadi sendi utama keberhasilan tersebut.

Masa transisi merupakan proses politik yang kompleks yang melibatkan berbagai kelompok yang berjuang demi kepentingan masing-masing, baik yang mendukung tujuan-tujuan demokrasi atau sebaliknya. Menurut Huntington (1995), seorang ahli politik terkemuka dari Univesitas Harvard, para peserta dalam proses transisi dalam gelombang ketiga demokratisasi terdiri dari kelompok konservatif, pembaharu liberal, pembaharu demokratis dalam koalisi pemerintah dan kelompok moderat demokratis serta ekstrimis revolusioner di pihak oposisi. Dalam perjalanan proses transisi terjadi perimbangan kekuatan antara pro dan kontra demokrasi. Jika kelompok konservatif mendominasi pemerintahan dan kelompok ekstrimis mendominasi oposisi, maka demokratisasi mustahil berjalan. Kondisi yang ideal bagi tumbuhnya demokrasi adalah jika kelompok-kelompok prodemokrasi mendominasi pemerintahan maupun mendominasi oposisi. Sementara, jika kelompok prodemokrasi mempunyai posisi kuat dalam pemerintahan dan dalam oposisi lemah, maka upaya demokratisasi terancam oleh kekerasan yang dilakukan pemberontak dan peningkatan kekuatan konservatif yang sangat memungkinkan terjadinya kudeta.

Lebih dari itu, Huntington menambahkan bahwa demokrasi harus diciptakan melalui perundingan, kompromi, perjanjian, demonstrasi, kampanye, pemilihan umum dan penyelesaian perbedaan tanpa kekerasan. Cara-cara ini mengandaikan adanya pemimpin politik yang berani menentang kekuatan status quo dan mengorbankan kepentingan-kepentingan pengikutnya untuk kepentingan jangka panjang. Selain itu, demokrasi bisa berhasil jika mempunyai para pemimpin, pemerintah dan oposisi yang bisa menahan diri dalam menghadapi kelompok-kelompok radikal dan mempunyai kearifan yang menyadari bahwa dalam politik tak seorang pun memonopoli kebenaran.

Sejak era Pemerintahan Habibie, pelbagai langkah untuk mendemokratisasikan institusi dan prosedur-prosedur politik telah dilakukan dengan sejumlah transformasi yang nyata: pemerintahan terpilih, pemilu yang relatif fair dan berulang, kebebasan berekspresi, keluasan akses informasi (meski belum ada jaminan perudang-undangan), desentralisasi dan otonominasi, pemilihan presiden dan pilkada secara langsung dan sebagainya.

(bersambung…)