Saudaraku, hidup kita di dunia ini tak ubahnya bagaikan uap: sekelebat terlihat lantas lenyap.

Hari ini saya baca buku “A (Very) Short History of Life on Earth”, karya Henry Gee (2021), dengan perasaan campur aduk.

Jangankan lama hidup setiap manusia, lama kehidupan spesies homo sapiens saja (sejak sekitar 300 ribu tahun lalu) hanyalah sekelebat singkat dari rantai panjang kontinuitas dan diskontinuitas selama 4.6 milyar tahun sejarah bumi.

Kalau kita mampatkan bentangan panjang sejarah eksistensi bumi jadi kalender tahunan. Maka, kehidupan homo sapiens baru muncul sekitar tanggal 25 Desember. Dan hidup kita baru hadir sepersekian detik jelang tengah malam 31 Desember. Betapa sekelebatnya.

Lantas bagaimana cara kita memaknai kehidupan ini?

Di satu sisi, kita harus tetap tabah, karena kekacauan dan kepunahan adalah bagian dari kehidupan. Dunia telah mengalami lima kali “kiamat kecil” yang memusnahkan segala hayat secara massal (mass extinction): akhir era Permian, Cretaceous, Ordovician, Triassic dan Devonian. Dan saat ini, kita sedang berada di ruang tunggu menuju kepunahan massal keenam.

Di sisi lain, kita juga harus tetap semangat karena setelah kekacauan dan kepunahan itu bisa tumbuh kehidupan baru. Selalu ada benih hayat (seperti cyanobacteria) yang dapat bangkit kembali merintis dunia baru.

Yang bisa manusia lakukan sebagai makhluk yang sadar diri dan tempatnya di semesta raya ini adalah turut merawat bumi agar tak cepat mengalami kerusakan.

Selain itu, hidup singkat di bumi ini jangan sampai jadi ruang tunggu kesia-siaan dan penderitaan. Kita harus menjalaninya dengan penuh kebahagiaan. Semua manusia sama-sama berada di kapal petualangan yang singkat menuju kepunahan. Oleh karena itu, semua harus mengembangkan rasa senasib sepenanggunan; saling mencintai, saling berbagi, saling bekerjasama mewujudkan nirwana kebahagiaan di dunia. Seraya berharap, semoga masih ada nirwana di akhirat nanti.

Belajar Merunduk, Yudi Latif

Artikel ini ditulis oleh:

As'ad Syamsul Abidin