Jakarta, Aktual.com — Perpanjangan konsesi Jakarta International Container Terminal (JICT) oleh PT Pelindo II kepada perusahaan asing Hutchison Port Holdings (HPH) diduga terindikasi korupsi.
Maka dari itu, ratusan pekerja JICT mendatangi gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melaporkan dugaan tersebut.
Ketua Serikat Pekerja JICT (SP JICT) Nova Sofyan menyebut JICT dijual sangat murah atau senilai USD215 juta. Anehnya nilai ini lebih rendah dari pertama privatisasi tahun 1999 (USD243 juta) dan jumlahnya setara dengan keuntungan JICT dalam 2 tahun. Ada potensi pendapatan JICT Rp35 triliun yang hilang saat JICT dijual oleh Lino.
“Adapun alibi Lino soal soal market yang akan dibawa pergi HPH merupakan pembodohan publik. Kita semua tahu bahwa volume peti kemas ekspor impor ditentukan oleh perdagangan internasional antara Indonesia dengan negara lain, bukan operator asing seperti Hutchison. Hal ini semakin menegaskan bahwa RJ Lino sengaja ingin membodohi rakyat Indonesia,” kata Nova dalam pernyataannya, Selasa (22/9).
Berikut beberapa hal terkait dugaan korupsi yang dilakukan dalam perpanjangan konsesi:
1. Dalam surat Dewan Komisaris Pelindo II nomor 68/DK/PI.II/III-2015 tanggal 23 Maret 2015 dinyatakan bahwa harga JICT setara dengan USD 854 juta. Jadi dengan uang penjualan Hutchison USD215 juta maka sahamnya hanya 25% bukan 49% seperti yang diusulkan Dirut Pelindo II RJ Lino lewat konsultannya Deutsch Bank selama ini. Menurut perhitungan tersebut, jika dipaksakan saham Hutchison 49% maka ada kerugian negara sebesar USD212 juta atau hampir Rp3 triliun.
2. Wacana penjualan JICT sudah dimulai Lino sejak jauh-jauh hari atau tepatnya tanggal 27 Juli 2012 oleh Lino melalui surat HK.566/14/2/PI.II -12 kepada CEO Hutchison. Hal ini janggal mengingat kontrak baru akan berakhir 7 tahun mendatang atau 2019.
3. Lino juga melanggar GCG dengan berbohong soal tender terbuka. Iklan perpanjangan konsesi JICT tanggal 8-9 Agustus 2014 di beberapa media nasional seperti Kompas, Bisnis Indonesia dan lain-lain memberitahukan bahwa perpanjangan konsesi JICT tidak ditender.
4. Selain itu ada bukti yang menunjukkan bahwa RJ Lino terima gratifikasi suvenir senilai Rp 50 juta dari Managing Director Hutchison Canning Fok tepat setelah final meeting perpanjangan konsesi JICT di Hong Kong pada 25 Juni 2015. Hal ini betul-betul kontradiktif dengan iklan anti gratifikasi Lino di media.
5. SP heran dengan RJ Lino yang telah mengkerdilkan bangsa sendiri karena tidak memberikan kesempatan anak bangsa mengelola gerbang ekonomi nasional JICT. Seharusnya RJ Lino bisa menjadikan Kepentingan nasional menjadi pertimbangan utama dalam mengambil keputusan strategis. Toh RJ Lino sudah dapat global bond USD 1,6 miliar untuk bangun proyek-proyeknya, lantas untuk apa JICT sebagai gerbang ekonomi kedaulatan ekonomi nasional dijual untuk 20 tahun kedepan.
Artikel ini ditulis oleh: