Jakarta, Aktual.com — Komisi Pemberantasan Korupsi meminta revisi Undang-undang No 30 Tahun 2002 tentang KPK tidak dilemahkan. Pada Selasa (23/6), dalam rapat paripurna DPR, revisi UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK resmi masuk dalam Proyeksi Legislasi Nasional Prioritas 2015.

“Kalau itu sudah jadi keputusan politik, yang harus dilakukan adalah menyiapkan ‘draft’ revisi UU KPK yang isinya tidak melemahkan KPK,” kata pelaksana tugas Ketua KPK Taufiequrrachman Ruki di gedung KPK Jakarta, Rabu (24/6).

Dia mengatakan, jika dalam revisi itu malah melemahkan KPK, maka hal tersebut sudah seharusnya ditolak. “Setiap konsep yang mengandung tujuan pelemahan dan pengurangan kewenangan harus kami tolak,” tambah Ruki.

Alasan memasukkan RUU KPK ke Prolegnas 2015 menurut Ketua Badan Legislasi DPR RI Sareh Wiyono adalah mengakomodasi permintaan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly, karena dinilai ada beberapa alasan kegentingan.

“Kewenangan penyadapan dengan pelanggaran HAM, penuntutan yang perlu disinergikan dengan kewenangan Kejaksaan, perlunya dibentuk dewan pengawas mengenai pengaturan pelaksanaan tugas pimpinan jika berhalangan dan penguatan pengaturan kolektif kolegial,” kata Sareh.

Baleg juga meminta pemerintah untuk tidak menarik kembali usulan RUU tersebut, karena penambahan atau pengganti RUU prioritas harus dilaporkan dalam rapat paripurna DPR.

Sebelumnya Menteri Hukum dan HAM Yasonna Hamonangan Laoly mengatakan, sikap pemerintah sejak awal tidak mengajukan revisi UU KPK. “Sikap Pemerintah sejak awal tidak mengajukan revisi UU No 30 tahun 2002 tentang KPK. Dalam Prolegnas revisi itu diajukan oleh DPR, bukan oleh pemerintah,” kata Yasonna pada 22 Juni 2015.

Menurut Yasonna revisi UU KPK tersebut terkit juga dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No 1 tahun 2015 tentang KPK.

“Kemudian, pada waktu pembahasan Perppu No 1 Tahun 2015 tentang KPK, DPR melalui Komisi III yang ditugaskan membahas Perppu KPK untuk membuat catatan persetujuan untuk segera mengajukan revisi UU KPK. Kalau tidak, DPR tidak menyetujui Perppu, apalagi pada waktu itu tengat waktu persetujuan DPR sdh dekat, kalau tidak Perppu tidak berlaku.”

Konsekuensinya, kata dia, pengangkatan komisioner KPK yang tiga orang itu batal, karena Perppu KPK tidak disetujui. Kita terima catatan tersebut. Itu sebabnya, lanjut dia dalam pengajuan Prolegnas, revisi UU KPK dimasukkan untuk 2015 yang sebelumnya direncanakan 2016.

Namun, revisi RUU KPK menurut Yasonna tetap menjadi hak inisiatif DPR, karena menurut konstitusi DPR berhak mengajukan RUU dan nantinya akan dibahas bersama pemerintah.

“Jadi Pemerintah tidak akan mengajukan ‘draft’ revisi RUU KPK. Kalau pada akhirnya, DPR mengajukannya Revisi RUU KPK, yang merupakan hak konstitusional DPR, maka Presiden dapat menugaskan menteri terkait membahas namun meminta untuk menunda pembahasannya. Jadi, sikap pemerintah sebenarnya jelas, sejak awal tidak berinisiatif mengajukan revisi RUU KPK,” tegas Yasonna.

Revisi UU KPK dalam rapat 16 Juni 2015 menurut Yasonna setidaknya membahas lima hal yaitu (1) kewenangan penyadapan agar tidak menimbulkan pelanggaran HAM yaitu hanya ditujukan kepada pihak-pihak yang telah diproses pro-justisia, (2) peninjauan terkait kewenangan penuntutan yang perlu disinergikan dengan kewenangan Kejaksaan Agung, (3) terkait perlu dibentuknya Dewan Pengawas, (4) pengaturan terkait pelaksanaan tugas pimpinan jika berhalangan dan (5) penguatan terhadap pengaturan kolektif kolegial.

Artikel ini ditulis oleh:

Wisnu