Yogyakarta, Aktual.com – Rupa arogansi pemerintah dianggap kembali terlihat dari sejumlah kasus penggusuran di berbagai wilayah, terakhir pada ratusan petani Desa Sukamulya, Kertajati, Majalengka yang menolak pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB).
“Selama ini pengadaan tanah oleh pemerintah selalu pakai pendekatan ekonomi, semata-mata itu, padahal bagi orang Indonesia ‘nilai’ tanah itu banyak,” ujar Mukmin Zakie, Kepala Pusat Studi Hukum Agraria (PSHA) UII Yogyakarta, Minggu (20/11).
Kepada Aktual, Mukmin menjelaskan bahwa bagi masyarakat yang menggantungkan hidup pada lahan, nilai-nilai yang dimaksud ialah lahan sebagai monumen kultural, ada sisi historis, rasa sentimentil dan sebagainya. “Rasa ini yang harus dihormati,” katanya.
Disaat pemerintah membutuhkan lahan untuk pembangunan, ingin mengambil lahan petani, seharusnya dibujuk rayu dengan cara yang lebih beradab dan manusiawi.
“Ini kok kayak jaman domein verklaring saja, tanah orang dirampas masalah selesai hanya dengan dibayar, tidak akan pernah selesai kalau caranya seperti itu, harus ada kearifan dalam hal negosiasi musyawarahnya,” imbuhnya.
Serupa kasus megaproyek NYIA Kulonprogo, sambung Mukmin, para petani tidak semata mempermasalahkan urusan duit, sebab ketika uang kompensasi lahan habis maka tanah pun sudah tidak ada lagi.
Fenomena pembangunan dan penggusuran ujar Mukmin memang sudah terjadi sejak dulu, masyarakat Indonesia secara terpaksa dicabut dari akarnya yang agraris. Dalam konsep negara kesejahteraan tujuan pembangunan diperuntukkan bagi rakyat, tapi mereka malah jadi tumbal pembangunan.
“Pembangunan ada di negara manapun, di AS saja nggak ada habisnya, tapi tidak cukup dengan tahapan dalam UU agar menyelesaikan masalah, sebab kita juga punya hukum tak tertulis, salah satunya kepatutan dalam bertindak,” kata Mukmin.
Penerapan UU sebagai legalitas tentu diperlukan, namun kata Mukmin ketika berada di lapangan gunakanlah kultur masyarakat yang beradab, terlebih dalam prosedur pun juga ada hak-hak orang yang menolak. Karenanya, tidak bisa sebatas kertas peraturan, banyak nilai yang harus ditonjolkan.
Lebih lanjut, pemerintah dianggap menutup mata pada praktik-praktik oknum yang mengatasnamakan warga yang faktanya masih kerap terjadi di kalangan masyarakat.
“Seharusnya pemerintah cerdas urusan legalitas tapi mereka pura-pura bodoh, sama kayak Belanda minta tanah,” sindirnya.
Meluasnya pembangunan tentu akan selalu berbenturan dengan agraria. Ruang agraria perkotaan seperti Jakarta, untuk siapa pembangunannya bagi Mukmin masih tidak jelas. Kaum marjinal ibukota digusur dengan iming-iming pindah ke rusun yang dijanjikan, ternyata fasilitasnya tidak memadai, mahal dan sebagainya. Akibatnya, mereka harus kembali dipindah kemudian hari.
“Kaum kelas menengah ibukota sudah tidak melihat kebawah lagi, seolah-olah tidak berdosa karena membeli properti secara sah dari pengembang, soal pengembang bagaimana pengadaan tanahnya dulu itu ‘bukan urusan saya’, tidak mau ambil pusing,” demikian Mukmin.
Laporan: Nelson Nafis
Artikel ini ditulis oleh:
Nelson Nafis
Nebby