Jakarta, Aktual.com – Ekonom Senior Indef, Didik J Rachbini menilai pemerintah seharusnya tidak menganggap enteng krisis yang sudah berada di depan mata. Pasalnya, pelemahan nilai tukar sudah terjadi 4-5 tahun yang lalu dan praktis tidak ada upaya kebijakan yang signifikan dan cukup serius untuk menahan laju pelemahannya selama 4 tahun terakhir ini.
“Bisa dikatakan, kebijakan-kebijakan ekonomi yang dijalankan tidak dapat mengatasi pelemahan nilai tukar. Nilai tukar terkuat 5 tahun lalu berada pada kisaran 9 ribu rupiah per dollar AS dan sekarang mencapai 15 ribu rupiah per dollar AS. Jadi kalau tidak diambil periode sepotong, maka pelemahan nilai tukar selama ini mencapai tidak kurang dari 60 persen. Data yang dipakai sepotong untuk memoleh pelemahan nilai tukar adalah 8 persen dihitung cuma beberapa bulan terakhir saja,” ujar Didik yang juga menjabat Ketua Dewan Pengurus LP3ES di Jakarta, Minggu (16/9).
Menurutnya, praktek memoles data untuk agar dilihat bagus oleh publik sudah terjadi secara terus-menerus sehingga lupa untuk membuat kebijakan makro yang nyata dan fokus pada masalah. Pelemahan nilai tukar selama 4 tahun terakhir adalah pelemahan yang terjelek. Terlepas dari kontroversi krisis 1998,kampanye make up dan pencitraan terus-menerus tanpa mau fokus ke permasalahan sebenarnya.
“Pelemahan nilai tukar yang dalam sekitar 60 persen selama 4 tahun terakhir ini adalah tanda bahwa kebijakan makro tidak pruden, tetapi karena pencitraan publik melihat kebijakan yang ada begitu pruden,” tambahnya.
Anggapan bahwa ekonomi Indonesia baik-baik saja dan mencoba memoles-moleh data ekonomi makro yang ada justru menjadi bumerang dan bisa menjadi sikap lengah dan kemudian bisa menjerumuskan ekonomi Indonesia betul-betul ke jurang krisis.
“Semestinya pelemahan nilai tukar tidak kurang dari 60 persen selama beberapa tahun tersebut secara otomatis dapat menahan laju impor sehingga bisa memperkuat neraca perdagangan maupun neraca berjalan. Tetapi apa yang terjadi, kedua neraca yang sangat penting tersebut jebol karena memang terjadi kekosongan kebijakan ekonomi untujk menahan tekanan eksternal terhadap sektor eksternal dari ekonomi Indonesia. Ketika rupiah terpuruk ke puncak 15 ribu rupiah per dollar, maka make up yang dilakukan adalah faktor eksternal. Ekonomi Indonesia baik-baik saja. Anehnya, yang diterima publik betul-betul make up dan pencitraan tersebut,” jelasnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka