Jakarta, Aktual.com —  Salah satu produsen elektronik di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, terpaksa menaikkan harga jual produknya menyusul melemahanya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mengingat beberapa komponennya harus didatangkan dari luar negeri.

“Sebetulnya, target nilai tukar rupiah terhadap dolar sebesar Rp10.000. Akan tetapi, ketika ada kenaikan Rp500 saja maka proyeksi kenaikan harga produknya sekitar 3 persen,” kata Public Relation and Marketing Event Manager PT Hartono Istana Teknologi di Kudus, Selasa (25/8).

Demikian halnya, lanjut dia, ketika rupiah kembali melemah hingga Rp13.000 per dolar AS, maka proyeksi kenaikan harga jual produk yang dihasilkan PT HIT yang mengeluarkan produk bermerek Polytron mencapai 18 persen.

Namun, tambahnya, kebijakan menaikkan harga jual produk memang tidak langsung diputuskan karena mempertimbangkan respons pasar.

“Jika kenaikan harga produk yang dihasilkan PT HIT mencapai 18 persen, tentu pertanyaannya konsumen beralih ke produk lain atau tidak,” ujarnya.

Hanya saja, kata dia, setelah ditunggu-tunggu kondisi nilai tukar rupiah belum juga membaik, bahkan kembali terpuruk hingga Rp14.000 per dolar AS.

Menurut dia, perusahaan tentu tidak bisa bertahan dengan harga jual sebelumnya seiring meningkatnya biaya produksi, sehingga dengan terpaksa harus menyesuaikan harga jual produk di pasaran dengan biaya produksinya.

Ia mengakui, beberapa komponen untuk membuat produk elektronik, seperti televisi dan mesin cuci serta beberapa produk lainnya memang masih harus diimpor. Sementara harga komponen impor, kata dia, ditetapkan berdasarkan mata uang dolar.

Upaya lain menekan biaya produksi agar tidak melambung tinggi, di antaranya dengan melakukan penghematan di berbagai lini.

“Jika biasanya melakukan investasi mobil, untuk sementara tidak dilakukan, demikian halnya dalam hal perekrutan karyawan baru,” ujarnya.

Seharusnya, kata dia, PT HIT membutuhkan penambahan tenaga kerja baru, khususnya untuk divisi produk telepon genggam.

Terkait upaya pengurangan tenaga kerja, lanjut dia, hingga kini belum ada kebijakan terkait pengurangan tenaga kerja, mengingat upaya lain untuk menekan biaya masih bisa dilakukan.

Hal tersebut, lanjut dia, ditunjang dengan upah pekerja di Kudus yang tidak terlalu tinggi dibandingkan dengan upah di kota besar.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka