Ratusan mahasiswa dari berbagai Universitas kembali melakukan aksi di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (12/1/2017). Dalam aksinya ratusan mahasiswa Presiden Joko Widodo untuk mencabut PP Nomor 60 Tahun 2016, tentang Tarif dan Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), membatalkan kenaikan harga BBM nonsubsidi dan membatalkan pencabutan subsidi tarif dasar listrik 900 VA.

Jakarta, Aktual.com – Rupiah semakin tertekan setelah anjlok dan hampir mencapai level Rp 15.000 per dolar Amerika Serikat (AS).

Hal ini pun menarik perhatian dan tanggapan dari berbagai kalangan. Anggota Komisi IX DPR, Heri Gunawan pun tak tahan mengomentari merosotnya rupiah.

Ia pun menyalahkan pemerintahan Joko Widodo atas hal ini. Pemerintah, kata Heri, telah membuat kebijakan yang salah sehingga membuat rupiah terpelosok semakin dalam.

“Rupiah tertekan salah kebijakan,” tegasnya dalam keterangan pers pada Selasa (4/9).

Nilai tukar rupiah memang tengah jatuh ke level nyaris Rp 15 ribu terhadap dolar AS. Kondisi ini menurut Heri merupakan yang terendah sejak krisis 1998.

Ketua DPP Partai Gerindra ini mengaku memiliki beberapa catatan yang menyebabkan itu terjadi. Pertama, karena Indonesia mengalami defisit ganda. Yakni defisit neraca berjalan sebesar 8 miliar dolar AS sampai bulan Juli 2018 ini. Sementara utang negara telah mencapai 34 persen dari PDB (Produk Domestik Bruto).

“Nilai tukar rupiah telah turun sebesar 8,7 persen sejak awal tahun 2018 Padahal BI telah menaikkan suku bunga sebesar 125 basis points sejak bulan Mei,” ungkapnya.

Adapun intervensi BI, tambah Heri, membuat cadangan devisa turun 10,5 persen menjadi 111,9 miliar dolar AS.

Heri menduga, penguatan dolar AS ini akan menimbulkan kekhawatiran terhadap kemampuan Indonesia membayar utang dalam dolar. Sementara di lain pihak ekspor barang dari dalam negeri kian melemah dan pemerintah terus menaikkan pertumbuhan utang untuk membiayai defisit.

Menurut Heri, BI telah melakukan intervensi dengan membeli obligasi (bond) pemerintah sebesar Rp 80 triliun minggu lalu untuk menurunkan 10-year yield yang telah mencapai 8,094 persen.

Namun nilai tukar yang kian terpuruk lebih disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang kurang realistis. Kebijakan tersebut malah menimbulkan double deficit, yakni trade deficit dan financial deficit.

“Penyebabnya adalah subsidi BBM semakin tinggi, membanjirnya impor, pembiayaan infrastruktur dalam mata uang asing, dan dan defisit APBN yang dibiayai utang, termasuk dalam mata uang asing,” jelasnya.

Pemerintah, tambah Heri, harus mengambil kebijakan yang tepat untuk memperbaiki kondisi itu. Di antaranya dengan memotong anggaran belanja secara signifikan, dan menurunkan defisit anggaran agar secara signifikan menurunkan prospek CA deficit dan memberikan imunitas pada ekonomi.

“Kedua, fiskal defisit pernah mencapai level tertinggi pada kwartal III 2015 atau 6% dan kwartal I 2016 4,3%. Namun saat itu private sector masih surplus. Sementara saat ini private sector balance belum bisa kembali ke level sebelum 2011,” beber Heri.

“Ketiga pemerintah perlu menyesuaikan belanja negara secara lebih tepat sasaran, bila perlu di kwartal III atau IV Fiscal balance bisa surplus untuk menjaga CA defisit terkendali,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Teuku Wildan