Petugas menghitung mata uang rupiah pecahan Rp100.000 di tempat penukaran mata uang asing di Jakarta, Jumat (16/10). Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS ditutup pada level Rp13.540 per dolar AS, melemah 0,91 persen atau 122 poin dari penutupan sebelumnya. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa/aww/15. *** Local Caption ***

Jakarta, Aktual.com — Laju mata uang rupiah memang sempat menyentuh Rp12.964 per dolar AS pada perdagangan Senin (7/3) ini.  Namun, angka itu ternyata disebut bukan karena fundamental perekonomian yang membaik, melainkan adanya ‘uang panas’ atau ‘hot money’ yang masuk ke pasar uang dalam negeri.

“Saya kira menguatnya rupiah itu karena adanya hot money yang masuk,” tandas ekonom INDEF, Enny Sri Hartati di Jakarta, Senin (7/3).

Menurut dia, adanya capital inflow ini karena kondisi pasar di beberapa negara masih dianggap kurang menguntungkan.

“Coba lihat, di Uni Eropa suku bunganya masih minus, dan di Jepang juga demikian. Sehingga uang itu akan mengalir ke negara yang dianggap menguntungkan, salah satunya Indonesia,” tandas dia.

Tentu saja, masuknya hot money ini bukan sebuah kabar bagus. Dana seperti ini sangat berpotensi menimbulkan spekulasi dan susah diprediksi masuk-keluarnya ke dalam suatu sistem keuangan suatu negara.

“Jika suatu saat lari (ke luar negeri), tentu akan memukul mata uang kita. Sehingga rupiah bisa tiba-tiba melemah. Karena fundamental ekonomi kita belum sepenuhnya stabil,” tandas Enny.

Sementara itu, Enny menyebut, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) maupun Bursa Efek Indonesia (BEI) juga diharapkan bisa menerbitkan ketentuan yang mampu mengarahkan hot money masuk ke produk investasi jangka panjang.

Enny berharap, dana-dana capital inflow bisa dihimpun melalui Manajer Investasi atau perusahaan sekuritas.

“Pemilik hot money bisa bekerja sama dengan Manajer Investasi atau pengelola dana jangka panjang lainnya. Sehingga, uang itu bisa masuk ke instrumen investasi dan bisa bertahan lebih lama di pasar uang maupun pasar modal kita,” papar dia.

Dia menegaskan, kondisi ini diharapkan bisa menjadi momentum bagi pemerintah, OJK dan BI untuk menjaga iklim investasi yang kondusif, agar tidak menciptakan capital reversal atau dana kembali secara tiba-tiba.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka