Jakarta, Aktual.com — Anggota Komisi XI DPR RI, H Willgo Zainar mengkhawatirkan kondisi cadangan devisa yang terus berkurang karena terkuras untuk menstabilkan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS.
“Saya khawatir cadangan devisa kita berkurang dan bisa juga habis, sementara Rupiah kita tetap loyo. Kan ini mubazir,” katanya ketika dihubungi di Mataram, Selasa (6/10).
Menurut Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Nusa Tenggara Barat (NTB) ini, cadangan devisa yang ideal adalah mampu memenuhi minimal enam bulan impor.
Sementara saat ini cadangan devisa Indonesia sebesar 103 miliar Dollar AS. Angka ini sudah limit dan pas-pasan untuk menjamin impor enam bulan ke depan.
“Jadi harus benar-benar ‘prudent’ dalam penggunaannya,” ujar anggota DPR RI daerah pemilihan NTB ini.
Willgo menilai posisi Bank Indonesia (BI) cukup dilematis. Di satu sisi, tugasnya di bidang moneter untuk menjaga tingkat inflasi dan kurs Rupiah yang ideal dengan instrumen BI Rate dan intervensi pasar uangnya saat ini kurang efektif lagi karena kondisi yang terjadi saat ini telah menghantam sektor riil dan produksi.
Selain itu, perdagangan dihantui oleh gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) karena daya beli masyarakat yang sudah tidak berdaya dengan naiknya harga. Sementara penghasilan mereka stagnan, bahkan cenderung turun.
Ia menambahkan, angka kemiskinan juga bertambah, pengangguran meningkat dan kesenjangan kaya miskin semakin melebar, harga pangan dan inflasi juga cenderung naik. Ini indikator bahwa perekonomian Indonesia dalam kondisi sulit dan cenderung mendekati krisis.
“Saya kira intervensi BI ke pasar uang relatif sudah tidak signifikan lagi,” ucapnya.
Melihat kondisi ekonomi saat ini, Willgo berharap kepada pemerintah untuk memberikan stimulus yang konkret kepada pelaku usaha dan rakyat, antara lain dengan memberikan insentif suku bunga pinjaman, insentif pajak dan tarif, khususnya pada sektor industri dan perdagangan yang berorientasi ekspor dan mensubstitusi produk impor untuk kebutuhan domestik.
Selain itu, harga bahan bakar minyak (BBM) yang cenderung menjadi komponen biaya yang signifikan pengaruhnya, baik untuk produksi, perdagangan maupun konsumsi masyarakat perlu diturunkan harganya dengan peningkatan efisiensi Pertamina, sehingga mampu menghemat biaya yang tidak perlu atau berlebihan, baik untuk “brokerage” maupun internalnya.
“Turunya harga BBM akan berdampak terhadap turunnya harga tarif dasar listrik untuk industri dan rakyat. Biaya transportasi dan logistik pun akan turun, sehingga harga akhir yang diterima masyarakat akan lebih murah lagi,” katanya.
Pemerintah, menurut anggota Badan Anggaran DPR RI ini, juga harus mampu melakukan efisiensi dalam perencanaan dan penggunaan anggarannya. Bila perlu pagu anggaran dipotong hingga 25 persen.
Selain itu, serapan belanja pemerintah harus dapat segera direalisasikan karena saat ini masih banyak kementerian, lembaga dan pemerintah daerah belum mencapai 50 persen serapan APBNP 2015 yang telah ditetapkan pemerintah bersama DPR.
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan