Jakarta, Aktual.co — Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sepanjang pekan ini telah menembus rekor terburuk ke 13.022 per dolar AS sejak perdagangan 1998 yang mencapai level 17.000. Hingga perdagangan Jumat (6/3), Rupiah hanya mampu naik tipis 39 poin atau 0,29 persen ke level 12.983.

Analis Ekonomi Politik dari AEPI (Asosiasi Ekonomi-Politik Indonesia) Kusfiardi mengatakan bahwa hal tersebut menunjukan ketidakberdayaan Pemerintah dalam menjaga nilai mata uang NKRI. “Kelihatan ga ada daya sudah Pemerintah dan otoritas moneter,” kata Kusfiardi kepada Aktual.co di Jakarta, Minggu (8/3).

Ia mengungkapkan, apabila nilai tukar semakin jauh dari asumsi APBN-P 2015 maka pengaruh nyata tentu adalah keuangan negara, terutama sisi belanja dan pembiayaan terkait cicilan pokok utang jatuh tempo. “Kedua, pengaruhnya juga terasa pada industri nasional yang bahan bakunya bergantung pada impor. Ketiga barang konsumsi yang juga impor seperti bahan pangan,” jelasnya.

Menurutnya, kondisi itu secara akumulatif akan berpengaruh negatif terhadap perekonomian nasional dan berdampak kontraktif. “Celakanya, instrumen pengendali melemahnya nilai tukar rupiah selama ini hanya tingkat suku bunga acuan dan operasi pasar Bank Indonesia (BI). Pelepasan dolar oleh BI berdampak berkurangnya ketersedian dolar untuk impor dan kebutuhan lainnya,” ungkapnya.

“BI memang bisa andalkan cadangan devisa. Tapi sisi lain beresiko tergerusnya ketersediaan cadangan devisa untuk kebutuhan impor dan bayar utang jatuh tempo,” imbuhnya.

Lanjutnya, kemudian instrumen suku bunga. Jika untuk menahan melemahnya rupiah lalu BI menaikkan tingkat suku bunga acuan maka itu akan berdampak semakin mahalnya biaya bunga pinjaman untuk modal kerja dunia usaha dan industri nasional. Dampak lainnya, pihak swasta justru makin gencar mencari pinjaman ke luar negeri yang biayanya lebih murah dibanding di dalam negeri.

Kusfiardi menerangkan, jika hal ini terus berlanjut, tentu akan sangat buruk dampaknya bagi perekonomian nasional. Bahkan berpotensi memicu munculnya krisis yang lebih buruk dibanding sebelumnya. “Otoritas fiskal dan moneter tidak bisa ngapa-ngapain karena terpenjara rezim devisa bebas dan nilai tukar bebas mengambang. Kedua kebijakan itu jadi surga bagi spekulan untuk terus menggoyang nilai rupiah demi keuntungan mereka. Bahkan bisa saja dimaksudkan untuk menggulingkan pemerintahan,” tutupnya.

Artikel ini ditulis oleh: