Jakarta, Aktual.com – Dalam ‘The Laws’, Plato berkata, “Siapa yang berhak membuat hukum bagimu?”
Sepangjang epos jaman, hukum berasal dari dua sumber: Tuhan dan manusia. Socrates menyebutnya sebagai natural law (hukum alam) dan reason law (hukum rasio). Cicero menyebut ‘natural law’ sebagai Lex Divina. Hukum Tuhan. Inilah hukum ideal bagi manusia. Santo Agustinus, abad 12, membagi tegas sumber hukum: ‘lex Divina (hukum Tuhan) dan Lex terrena (hukum setan).
Dari pertanyaan Plato, kita bisa memberi jawaban, siapa yang berhak membuat hukum itu? Tuhan atau setan?
Ian Dallas, ulama kesohor dari Eropa berkata, “Rennaisance menjadikan manusia sebagai ‘Tuhan”. Inilah jawaban fenomena kini. Karena hukum kini bukan berasal dari ‘lex Divina’. Melainkan hukum rasio (reason law). Hukum yang bersumber dari akal (rasio) manusia.
Inilah yang kini melahirkan rechtsstaat. Sistem tunggal hukum manusia di dunia kini. Apapun negara-nya, dan apapun agamanya. Tak ada lagi natural law, sebagaimana disebut Socrates.
Dan titik tolak itu dimulai masa ‘rennaisance.’ Inilah masa penggodokan munculnya ‘lex terrena.’ Hukum yang bersumber dari rasio manusia semata. hukum versi inilah yang kini berlaku mengikat seantero dunia.
Rennaisance, eropa menyebutya sebagai ‘berpikir kembali.’ Artinya kembali mendudukkan akal sebagai punggawa. Inilah filsafat. Masa itu, Eropa tengah dalam dominasi ‘aqidah’ yang dikungkung Gereja Roma.
‘Aqidah’ bak jabbariyya dalam Islam. Bahwa Tuhan adalah segala sesuatunya, tanpa boleh dibantah. Ian Dallas menyebut, masa itu adalah ketika ‘Tuhan menjadi manusia.’ Sementara rennaisance, membuat ‘manusia’ menjadi ‘Tuhan’. Ini tentu kisah dialektika yang panjang. Tapi disitulah kebenarannya. Rennaisance dipenuhi bahwa kekuasaan Tuhan bersifat mutlak.
Gereja Roma menjadi penafsir tunggal dari kitab suci. Dalam kekuasaan, adagium yang mencuat ialah ‘vox Rei vox Dei’ (suara Raja Suara Tuhan). Tali Allah ditafsirkan oleh ‘Raja’. Maka Raja dan Gereja menjadi satu kesatuan tanpa bisa dipisah. Sesiapa membantah Raja, maka dianggap melawan perintah Tuhan.
Ordo Kesatria sempat terbentuk di Eropa. Ini pasca drama perang Salib yang panjang. Sekelompok pembawa ‘misi suci’, berusaha melawan pengajaran Gereja Roma. Kadang disebut gerakan illuminati (pencerahan). Illuminati berbeda dengan ‘rennaisance’. Mereka tak setuju dengan paham ‘aqidah’ Gereja Roma.
Ordo Kesatria pun terbentuk. Ini buah dari didikan kaum muslimin selama perang salib berlangsung. Sultan Salahuddin al Ayyubi, pemimpin muslimin, mendidik tawanan perang pasukan Salib dan mengajarkan lagi tentang ‘virtue’ (kehormatan). Islam menyebutnya futtuwa. Disinilah terbentuk pasukan Kesatria penegak pencerahan, dan mereka bertentangan dengan Gereja Roma.
Kaum Ksatria inilah yang mengawal Raja. Kerajaan Inggris menjadi motor utama sang Raja yang dijaga para Ksatria. Robert Deveroux, Earl of Essex kedua, generasi keempat dari ordo Kesatria di Inggris. Dia melawan tirani Ratu Elisabeth, yang bertindak dzalim. Menyalahgunakan perintah Tuhan. Karena ‘vox Rei vox Dei’ tadi.
Ian Dallas dalam ‘The Interim is Mine’, membeberkan kisah heroik Robert Deveroux, bukti lahirnya ordo Ksatria terakhir. Mereka berbeda dengan gerakan ‘rennaisance’ tadi. Dalam kekuasaan, mereka disebut dengan aliran ‘moarchomach’, anti monarkhi yang tiran.
Tapi aqidah ‘rennaisance’ yang kemudian lebih menggurita. Illuminati tak diminati. Rennaisance lebih digemari.
Karena jamak penolakan dominasi dogma muncul dari filsafat. Thomas Aquinas memulainya. Dia menuliskan kitab ‘Tweez Tweerden Theorie’ (teori dua belah pedang). Aquinas menyamakan Kebenaran ala ‘naqli’ dan ‘aqli.’ Aquinas mengutipnya dari Ibnu Rusyd. Avveroes. Dialah mu’tazilah dari Andalusia.
Mu’tazilah yang memulai dialektika filsafat dalam belantara Islam. Masa itulah Socrates, Plato, Aristoteles “di-Islam-kan”.
Masa rennsaisance, mereka di ‘Kristen-kan’. Teori ‘kebenaran ganda’, mulai dicekoki oleh Al Farabi. Dia dijuluki ‘guru kedua’, setelah Aristoteles. Al Farabi mencetuskan tentang emanasi, kebenara ganda. Bahwa filosof bisa setara dengan Nabi. Karena filosof bisa menemukan Kebenaran dengan akalnya. Sementara Nabi menemukan Kebenaran dengan bimbingan wahyu. Naqli disetarakan dengan aqli.
Masa mu’tazilah itulah terjadi “pergeseran” qudrah dan iradah. Hal itu dianggap domain manusia. Bukan Tuhan. Karena manusia merujuk pada ‘akal pertama’, seperti teori Aristoteles. Plato menyebut dunia ‘idea’. Akal bawaan, yang datang dari Tuhan. Manusia, kata mereka, hanya bertugas melakukan penyingkapan, dengan akalnya. Itulah yang dimaksud ‘aletheia’.
Bahasa Yunani. Penyingkapan dari pencarian akal. Makanya kemudian memunculkan ‘teori’ atau ‘idea’ (gagasan). Inilah pondasi filsafat. Bahwa segala sesuatunya merujuk pada ‘investigasi akal.’ Makanya qudrah dan iradah pun dianggap berada pada manusia. Bukan Tuhan.
Beberapa abad, Islam dilanda virus mu’tazilah. ini pertemuan aqidah qadariyya dan filsafat Yunani tadi. Masa itulah jaman kelemahan Islam. Al Quds dengan mudah direbut oleh Dinasti Fatimiyya yang Syiah. Dan Cordoba di Andalusia dengan mudah direbut pasukan Katolik Kerajaan Portugis, yang bahkan belum mengenal kopi. Padahal era mu’tazilah dipuja-puja dengan kecaggiha sains-nya. Tapi pesatnya sains, buah dari filsafat, tak berbanding lurus dengan kekuatan Islam.
Masa mu’tazilah, tak sampai merubah syariat. Karena kemudian muncul mutakallimun, yang melawan kesesatan aqidah mu’tazilah. Imam Asyari, Imam Mathuridi meluruskan lagi aqidah dari mu’tazilah. Qudrah dan Iradah sepenuhnya kehendak Allah Subhanahuwataala. Imam Ghazali menyerang habis filsafat, “Tahafut al Falasifah”. Shaykh Abdalqadir al Jilani menggaungkan tassawuf, sebagai jalan benar dalam memahami Tauhid. Aqidah.
Maka lahirlah kemudian generasi Salahuddin al Ayyubi. Al Quds pun berhasil direbut kembali. Filsafat pun redup dalam Islam. Tassawuf menggema. Hingga kemuculan Mamluk, Utsmani, Moghul sampai kesultanan-kesultanan di negeri Melayu. Ini merupakan dominasi dari tassawuf yang memotori pemahaman Tauhid yang murni. Masa itulah aqidah ahlul sunnah wal jamaah terjaga, dan syariat terlindungi.
Iman-Islam-Ikhsan nampak mewujud nyata. Belantara Islam diwarnai ‘gemah ripah loh jinawi.’
Tapi gema filsafat tak berhenti. Masuklah kisah rennaisance di Eropa tadi. Aquinas mengutipnya. Filsafat pun menjadi ajang perlawanan untuk meruntuhkan ‘dogma.’ Francis Bacon mengikuti. Dia lawan dari Robert Deveroux, sang Kesatria. Tapi Bacon berfilsafat murni. Bacon memberikan akrobatik, “Aku Ada (Being) maka Aku Berpikir (Thinking).” Tentang ‘wujud’ (being), Bacon menteorikan segala sesuatunya bersumber dari rasio manusia.
Manusia pun berubah menjadi objek yang mengamati. Bukan lagi objek yang diamati. Ini khas filsafat. Rene Descartes mendobrak dari Perancis. Dia membuat akrobatik baru, ‘Aku Berpikir (Thinking) maka Aku Ada (Being).” Dari sini, rasio atau nalar menjadi raja. Segala sesuatunya dianggap “ada” jika telah melewati penyelidikan akal manusia. Cogito ergo sum. Termasuk Tuhan, manusia, hukum, kata Descartes, merupakan ranah yang wajib melewati dulu penyelidikan akal manusia.
Maka, qudrah dan iradah pun kembali menjadi domain manusia, pasca rennsaisance. Disitulah aqidah ‘mu’tazilah’ kembali. Tapi dengan nama ‘rennaisance’ tadi.
Cartesius mengeliminasi Kebenaran naqli sepenuhnya. Hanya merujuk pada aqli semata. Immanuel Kant makin melengkapi. Teorinya ‘ration scripta’ membuat rasionalitas empirisme menjadi kata kunci untuk menentukan ‘being’. Kant disebut tak terima dengan ‘teori Cartesius’ begitu saja. Melainkan harus melewati empirisme juga. Baru bisa dianggap ‘ada’.
Disinilah Kebenaran pun berubah. Tak lagi bisa menerima dogma. Melainkan ajang ‘berpikir’ ala filsafat menjadi menggema. Paham inilah yang menyeruak di Eropa. Dibakarnya Bruno, makin membuat filsafat menggelora. Kejadian pembantaian 3000 orang lebih pengikut Huguenot di Istana Kerajaan Perancis, abad 16, makin menguatkan filsafat.
Karena dogma Gereja Roma dianggap telah melewati batas. Monarkhi telah berubah jadi tirani. Maka, hukum pun mulai didefenisikan ulang. Setelah adagium ‘Vox Rei Vox Dei” pun mulai dikoyak-koyak Kebenarannya.
Puncaknya terjadi di Revolusi Perancis, 1789. Masa itulah kedigdayaan Raja dan Gereja Roma runtuh. Dogma terkudeta. Filsafat pun menjadi raja. Cartesius dan Kantian mendominasi. Tuhan pun didefesikan ulang, merujuk pada hasil “penyelidikan akal manusia”. Termasuk defenisi tentang “manusia”. Maka munculnya ‘ketuhanan” dan “kemanusiaan”.
Ini buah hasil tafsir akal manusia, tentang Tuhan dan tentang manusia. Napoleon memimpin new nomos di Perancis. Dia tak lagi menggunakan hukum Tuhan.
Karena dogma telah dikudeta. Setelah dia mengkudeta Robbiespierre, hukum Tuhan pun dieliminasi. Tak ada lagi kisah ‘lex Divina’. Maka hukum rasio yang berbicara. Manusia mulai menyusun sendiri hukum. Maka lahirlah ‘teori kontrak sociale’ ala Jean Jacques Rosseau. Hukum merupakan ‘kontrak sosial para manusia.’ Rosseau melupakan teori John Locke, yang masih mendudukkan hukum pada ‘duel contract’, kontrak manusia dengan manusia dan kontrak manusia dengan Tuhan. Dari revolusi Perancis itulah lahir ‘constitutio’. Ini wujud dari ‘teori kontrak sosial’. Hukum berdasarkan qudrah dan iradah manusia, bukan lagi kehendak Tuhan.
Revolusi Perancis melahirkan modernitas. Inilah aqidah baru, yang penyimpangan dari teori filsafat itu sendiri. Karena modernitas kemudian tak lagi bersandar pada akal. Melainkan lebih bersandar pada nafsu. Plato mendudukkan, manusia sejatinya terdiri dari tiga unsur: akal, kehendak, nafsu. Nah, mutazilah masih bersandar pada akal, dalam aqidahnya.
Moderitas lebih mendudukkan pada nafsu. Makanya modernitas kemudian mengeliminasi kebenaran Naqli sepenuhnya. Hanya mendudukkan aqli semata, itu pun yang telah terdominasi oleh nafsu. Ini yang disebut William Friedmann, hukum sejak abad 19 ke atas, jamak dibuat oleh praktisi hukum. Legal Theory, katanya, bukan lagi produk dari filosof hukum, agamawan, penjaga etik dan lainnya.
Melainkan dominasi dari praktisi hukum. Tentu disini nampaklah kaum praktisi, yang lebih bersandar pada nafsunya, ketimbang akalnya.
Dari sinilah aqidah modernitas mendunia. Dari Revolusi Perancis, kemudian seabad setelahya, 1840, menjamah pad tanzimat di Kesultanan Utsmaniyya. Neo mutazilah bangkit dari Mesir. Setelah dikooptasi Napoleon, Mesir kemudian mengekspor ustad-ustad muda belajar filsafat di barat. Alhasil mencuatlah modernis Islam. Dari situlah muncul istilah “islamisasi”. Tentang bagaimana memasukkan paham modernitas, dalam prinsip-prinsip Islam.
Para modernis Islam inilah, yang bergabung dengan penganut wahabbi dari Arabia, menggerogoti Daulah Ustsmani. Maka Utsmaniyya pun dipaksa mengganti hukumnya, dari syariat menjadi rechtstaat. Maka Code Napoleon pun diadopsi. Di nusantara, Hindia Belanda membawa Code Napoleon yang kemudian mereka amalkan di wilayah-wilayah jajahan mereka.
Termasuk di beberapa kesultanan yang membebek pada Belanda. Sejak itulah hukum rasio menjelma diadopsi seantero dunia. Dan hukum ala rasio ini hanya mengenal dua mahzab: civil law dan common law. Maka tak ada lagi negeri-negeri muslim bermahdhab Hanafiah, Syafiyya, Malikiyya maupun Hambaliyya.
Melainkan berada pada dominasi mahdhab common law dan civil law. Yang menjiplak pola Inggris, itulah common law. Sementara mengikut pada Perancis, itulah civil law. Inilah hukum rasio seantero dunia kini. Tak ada lagi syariat.
Dari diagnosa ini, keruntuhan syariat diawali dari keruntuhan aqidah. Filsafat melahirkan qudrah dan iradah berada di tangan manusia. Seolah bukan domain Tuhan. Inilah yang di masa Imam Ghazali disebut sebagai kesesatan. Makanya kemudian memunculkan aqidah ahlul sunnah wal jamaah, agar tak tersesat dari paham filsafat mu’tazilah.
Paham ini yang memunculkan neo mutazilah di belantara Islam. Tapi neo mutazilah ini lebih ironis dibanding mutazilah. Karena masa mu’tazilah, mendudukkan aqli setara dengan naqli. Sementara neo mutazilah alias modernis Islam, mendudukkan bahwa aqli berada di atas naqli. Maka yang lahir adalah ‘islamisasi’ atau ‘islamisme’.
Dari sinilah diperlukan jalan awal pengembalian Tauhid. Penyempurnaan aqidah. Imam Ghazali mendudukkan tiga jenis filosof: filosof illahiyyun (ketuhanan), filosof tabiiyyun (naturalisme) dan filosof dahriyyun (ateisme). Modernitas tentu merupakan dominasi filosof dahriyyun (ateisme). Karena mereka mendudukkan bahwa “segala sesuatunya adalah materi”.
Ini yang diucapkan Descartes, bahwa Tuhan, manusia, alam semesta, merupakan arena penyelidikan rasio manusia. Alhasil Tuhan pun dianggap seperti pembuat jam. Ketika jam selesai dibuat, maka jam berjalan dengan sendirinya. Paham ini hanya melahirkan Voltaire. “Jika Tuhan menuntut ketundukan penuh, maka Tuhan ada diktator, dan diktator tak layak dipatuhi,” katanya. Inilah yang disebut Nietszche sebagai hasil dari “nihilisme”.
Karena “Tuhan telah mati,” katanya. Modernitas inilah yang “membunuh” kehadiran Tuhan, berlandas ajang pemikiran manusia yang merujuk aqli semata. Paham inilah yang melahirkan bahwa segala sesuatunya harus berdasarkan “kehendak’ manusia. Alhasil filsafat melahirkan kekuasaan ala manusia: demokrasi. Filsafat melahirkan hukum ala manusia: rechtstaat. Dan filsafat melahirkan model keuangan ala manusia: bankyng sistem yang penuh riba. Dan itu menjadi halal. Karena manusia mendefenisikan ulang tentang halal dan haram, merujuk pada aqlinya. Bukan lagi naqli.
Inilah dominasi filosof dahriyyun. Martin Heidegger menyebutkan, “Filsafat telah mati”. Karena, katanya, filsafat tak bisa menemukan Kebenaran. Dan Heidegger menunjukkan absurdnya teori ‘cogito ergo sum’ dan matinya filsafat. Simak ‘Being and Time’.
Disinilah tassawuf sangat diperlukan umat manusia modern. Tassawuf penting untuk menyelamatkan aqidah yang telah mengarah pada ‘God is dead’. Tuhan perlu “dihidupkan” kembali dalam akal dan hati. Karena Tuhan bukan seperti pembuat jam, tatkala Dia membuat alam dunia. Melainkan “Hayyu dan Qayyum”. Dan disinilah diperlukan Ma’rifatuLlah, pemahaman tentang Allah Subhaahuwataala dengan sebenarnya. Bukan yang disesatkan.
Shaykh Abdalqadir as sufi, ulama besar dari Eropa, menjabarkan tentang kategori empat hal dalam pandangan ini. Orang yang melihat segala sesuatu secara inderawi (dzahir) terhadap Ciptaan-Nya, inilah kategori yang terselubungi atau tertutupi. Ini disebut dengan “mahjub”. Seseorang yang dapat mengidentifikasi perkara-perkara fenomenal dengn al Haqq, yakni ia yang berkata, “Tuhan ada di alam dunia, justru sejatinya dialah alam dunia itu”, ini merupakan orang yang ilusionis.
Ia disebut dengan “maghzjub”. Seseorang dimabuk anggur kemenyatuan, yang berkata, “Hanya Allah-lah yang ada,” yang mabuk akan Allah, ia seorang “absorsionis”. Ini disebut “majdzub”. Dan seseorang yang bisa membedakan mana yang merupakan keberbedaan, yakni ciptaan-ciptaan-Nya, dan mana yang merupakan jati diri, yakni Sang Pencipta, merupakan yang dicintai oleh Allah, maka ini yang disebut ‘mahbub’.
‘Mahjub’ tentu merupakan bentuk kufur. Sementara ‘maghzjub dan majdzub’ masih berada dalam kesesatan. Dan ‘mahbub’ inilah yang berada pada rel Kebenaran. Dari sinilah diperlukan tassawuf untuk menggembleng manusia agar berada pada wilayah ‘mahbub’. Dari situlah dominasi ‘mahbub’ diperlukan untuk penegakan syariat.
Dan inilah kaum khawas dan kawashul khawas yang merupakan rahmat bagi seluruh alam. Dari sinilah maka akan tampak tergambar jelas, bagaimana kedudukan qudrah dan iradah sebagai domain Allah semata. Bukan domain manusia. Dan hukum pun, menjadi domain Allah sebagai prima causa.
Itulah Lex Divina. Syariat.
Oleh: Irawan Santoso Shiddiq
Artikel ini ditulis oleh: