Kapolda Metro Jaya Irje Pol M Iriawan: Sekitar 30.000 personel TNI POLRI mengamankan tahap pemungutan suara pilkada 2017 di DKI Jakarta. (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – Pelantikan Komjen Pol Iriawan selaku Plt Gubernur Jawa Barat bukan saja sarat muatan politis, sekaligus bukti adanya intervensi pemerintah secara masif, terstruktural untuk memenangkan pasangan calon tertentu dalan Pilgub Jabar.

“Ini bukti pelanggaran hukum secara terbuka yang dipertontonkan pemerintah dengan mengabaikan supremasi hukum. Apapun hasilnya nanti jika paslon tertentu yang menang, berarti hasil pilgub cacat hukum. Inilah yang disebut preseden terburuk dalam demokrasi lokal. Artinya, pemerintah sedang mempraktikan demokrasi kriminal,” ujar pengamat politik Rusmin Effendy ketika dihubungi di Jakarta, Jumat (22/6).

Menurutnya, sesuai radiogram Mendagri yang beredar di media sosial, usulan awal yang ditunjuk sebagai pelaksana tugas adalah Sekda Jabar. Tapi dalam praktiknya kok bisa berubah.

“Ada maksud tertentu dari pemerintah menunjuk Komjen Iriawan yang saat ini masih sebagai jenderal aktif dan belum mengakhiri masa dinasnya. Ini jelas-jelas pelanggaran UU Kepolisian. Karena itu patut diduga ada kepentingan politik di balik penunjukan tersebut,” kata dia.

Ada dua faktor yang harus diperhatikan dalam kasus tersebut. Pertama, secara psikologis akan berdampak luas pada ketidakpercayaan publik yang melaksanakan pilkada. Ini akan menjadi resistensi politik yang sangat mengkhawatirkan soal netralitas Polri sebagai wasit dalam pilkada.

“Kedua, tingkat kepercayaan publik pada pemerintah semakin berkurang yang pada akhirnya bermuara pada Pilpres 2019. Artinya, pemerintah sudah mempraktikan demokrasi kriminal untuk mempertahankan kekuasaan 2019,” jelasnya.

Saat ini, lanjut dia, rakyat sudah tidak percaya dengan institusi kepolisian yang terkesan tebang pilih dan sering mengkriminalisasi para tokoh yang berseberangan dengan pemerintah.

“Ada perlakuan yang tidak adil dan cenderung bersikap arogan jauh dari sapta marga dan profesionalitas. Buktinya, Polri cenderung bersikap reaktif terhadap tokoh yang berseberangan dengan pemerintah. Sejatinya Polri sebagai aparat keamanan menjadi wasit, bukan malah terlibat dalam pusaran permainan politik praktis pemerintah,” tegas dia.

Karena itu, lanjut dia, sudah harus dipikirkan agar Tap MPR yang menempatkan Polri sebagai institusi di bawah presiden dicabut agar Polri menjadi lembaga yang independen dan kredibel.

“Penempatan institusi Polri di bawah presiden justru menjadikan Polri tidak profesional dan cenderung menjadi alat kekuasaan negara untuk membungkam lawan-lawan politik. Ini berarti transisi demokrasi yang digembar gemborkan selama ini hanya kamuflase belaka,” jelasnya.

Untuk diketahui, sebelumnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyarankan wartawan agar menanyakan masalah tersebut kepada Mendagri Tjahjo Kumolo terkait detail masalah pengangkatan Iriawan.

“Saya kira lebih detail silakan tanyakan ke Mendagri,” ujarnya.

Saat ditanya apakah usulan pengangkatan Komjen Iriawan berasal dari dirinya, Presiden Jokowi menegaskan, bahwa itu usulan dari bawah.

“Kemendagri, baru kita,” tegasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka