Diskusi Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP) bekerja sama dengan Biro Pemberitaan DPR RI bertajuk RUU EBT untuk Pengembangan 'Energi Baru Terbarukan Adil dan Berkelanjutan' di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (13/6/2023). AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, Aktual.com – Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru Terbarukan dinilai penting dalam merealisasikan proses transmisi energi di Tanah Air. RUU ini diyakini menjadi kontrol atas penggunaan energi fosil seperti batubara.

“Untuk Indonesia sendiri, menurut kami ini proses transisi energi menjadi penting dan undang-undang energi baru terbarukan ini menjadi sebuah payung hukum bagi kalau kita mau melakukan proses transisi,” kata peneliti tambang dan energi Alpha Research Database Indonesia, Ferdy Hasiman, dalam diskusi Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP) bekerja sama dengan Biro Pemberitaan DPR RI bertajuk RUU EBT untuk Pengembangan ‘Energi Baru Terbarukan Adil dan Berkelanjutan’ di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (13/6/2023).

Tak hanya itu, dia optimistis RUU EBT akan mempermudah proses transisi yang kerap digaungkan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Ferdy juga menilai lamanya pengesahanan RUU EBT membuat ketidakpastian hukum pada sektor energi.

Ferdy bahkan mengaku heran pembahasan RUU EBT tak kunjung menemukan titik terang. Padahal, kata dia, sektor energi Indonesia bakal mengalami krisis besar untuk 10-12 tahun ke depan selama masih bertahan menggunakan energi fosil.

“Kalau kita masih tetap bertumpu pada energi fosil yang saat ini menjadi dominan utama, yang jelas kita 10-12 tahun lagi akan mengalami krisis besar, krisis di sektor energi,” kata dia.

Dia menyampaikan kondisi yang membuat Indonesia membutuhkan RUU EBT. Pertama, produksi minyak nasional Tanah Air setiap hari hingga setiap tahunnya semakin menurun.

Ferdy mencatat dari 2002 produksi minyak Indonesia masih di atas satu juta barel per hari. Namun, seiring waktu produksi terus di bawah 700 ribu barel per harinya.

“Jadi kita ini membutuhkan BBM setiap hari itu di angka 1,4 juta barel per hari dan itu yang membuat kita impor, akibat tarik impor ini hampir 50 persen, 50 persen itu kita impor minyak dari luar,” ucapnya.

Dia mewanti-wanti anggota Komisi VII DPR RI untuk tidak ragu mendorong proses transisi energi. Khususnya, menggolkan RUU EBT tersebut,

“Saya dengar tadi belum belum belum 50% ya proses energi baru terbarukan, menurut kami penting sebagai masukan karena mumpung ini undang-undang belum beres, kami melihat ada satu DIM yang dimasukkan oleh pemerintah Tapi itu sudah dicabut kembali di pasal 29 dengan 47 itu, jadi itu harus diperhatikan soal Power Weling, ini sempat diperdebatkan dengan adanya Power weling nanti itu listrik yang dihasilkan oleh perusahaan swasta itu bisa dijual langsung ke masyarakat”. Pangkasanya

PLN nanti hanya bertugas sebagai penyedia jaringan, jadi ini sangat berbahaya untuk sektor kelistrikan kita, jadi selama ini PLN itu bertugas, ditugaskan oleh konstitusi untuk mengamankan kelistrikan nasional dan kita tidak perlu disau kemampuan PLN untuk mendorong itu sudah. Bahkan sekarang PLN sudah menggunakan sekitar 12 sampai 15 Giga Watt untuk energi bersih energi baru terbarukan.

Oleh karena itu itu harus menjadi perhatian dari teman-teman DPR jangan sampai Power Weling masuk ke dalam energi baru terbarukan karena ini akan jadi rame, karena ini kita mengarahkan ke liberalisasi sektor kelistrik dan itu akan melanggar undang-undang nomor 30 tentang kelistrikan Nasional.

“Karena itu sebagai masukan saja, saya titipkan supaya jika ada wacana Power weling di komisi 7 itu harus dipastikan ditolak karena itu akan melanggar UU PLN sendiri”. kata dia.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Tino Oktaviano