Jakarta, Aktual.com — Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Merek dan Paten sedang digodok oleh DPR RI. Melalui panitia khusus (Pansus), berbagai masukan diserap dari berbagai ahli serta kelompok masyarakat, dengan tujuan agar perumusan RUU itu berpihak kepada Usaha Kecil Menengah (UKM).

Wakil Ketua Pansus RUU Merek dan Paten, Refrizal mengatakan, bahwa RUU ini diharapkan nantinya bisa memberikan harapan kepada UKM, sebagai momentum kebangkitan merek produk lokal.

“Keberpihakan (RUU Merk dan Paten, red) pada UKM, dan kita minta UKM digratiskan Notaris untuk mengurus perusahaan atau koperasinya. Jadi negara yang membayar,” ucap Refrizal dalam acara diskusi forum Legislasi, di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (22/9).

Ia kembali mengatakan, ke depannya RUU ini dapat lebih melindungi kepentingan nasional. Misalnya, perlindungan terhadap industri kreatif yang mulai bangkit dari keterpurukan. Oleh karena itu, RUU ini diharapkan bisa menjadi perlindungan bagi UKM menjadi konsistensi DPR dan pemerintah yang ditujukan bagi merek lokal.

Lebih lanjut, anggota Komisi VI itu berharap, melalui RUU tersebut nantinya dapat menjadikan momentum kebangkitan nasional untuk merek produk lokal.

“Kita jadikan kebangkitan nasional kita dalam rangka melindungi merek lokal kita. Jadi keberpihakan pemerintah sangat penting terhadap merek lokal,” ujar politisi PKS tersebut.

Sementara itu, dalam kesempatan yang sama, Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi mengatakan, bahwa merek menjadi hal penting ketika berhadapan dengan kualitas produk. Ia menilai, RUU Merk dan Paten sejatinya memberikan jaminan ketika terdapat sengketa merek di kemudian hari.

Oleh karena itu, Tulus menegaskan, RUU Merek dan Paten tidak disusupi agenda bisnis global. Setidaknya, RUU Merek dan Paten tidak mematikan merek produk lokal. Sebabnya, jika RUU Merek dan Paten tidak berpihak pada UKM, maka akan sulit bersaing bagi merek lokal dengan merek produk impor.

“Jadi harus ada keberpihakan bagi UKM. Jangan sampai nanti masuk agenda global,” katanya lagi.

Sedangkan, terkait penegakan hukum, memang masih menuai perdebatan ketika Kepolisian menginginkan menjadi delik biasa. Sedangkan, sebagian besar ahli meminta delik aduan.

Dalam perspektif ini, ia khawatir ketika menjadi delik biasa, maka aparat Kepolisian dapat dengan mudah menangkap seseorang yang menggunakan produk bermerk kualitas (KW) satu. Artinya, produk tersebut bukan merek original.

Namun demikian, kemampuan daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah terbatas. Misalnya kaos bola merk luar berkisar di atas Rp1 juta.

Sementara itu, daya beli masyarakat tidak sampai nilai nominal tersebut. Nah, penegak hukum mesti memperhatikan hal tersebut tanpa langsung melakukan penangkapan ketika melihat orang menggunakan produk merek palsu.

“Jadi dalam konteks penegakan hukum harus memperhatikan yang seperti ini, dan disikat dari sisi hulunya. Jangan sampai UU Merk dan Paten malah mematikan merek lokal. Karena bagaimana pun budaya kita masih kental dengan merk palsu. Jadi penegak hukum harus hati-hati. Nanti orang pake kaos palsu dipidana,” pungkas dia.

Artikel ini ditulis oleh:

Novrizal Sikumbang