Jakarta, Aktual.co — Ketua Komisi VII DPR Kardaya Warnika meminta Kementerian ESDM segera melakukan dan menyelesaikan kajian akademis terkait bentuk lembaga permanen pengganti SKK Migas sebagai salah satu poin penting dalam RUU Migas.
“Begitu habis masa reses kami akan langsung minta hasil kajiannya sesuai dengan kesimpulan rapat antara Komisi VII DPR dengan Menteri ESDM lebih dari sebulan yang lalu,” ujarnya dalam seminar berjudul “Aspek Kelembagaan Konstitusional dalam Pengelolaan Migas Nasional” di Jakarta, Rabu (4/3).
Ia mengatakan bahwa sejak rapat kerja yang dilakukan dengan Kementerian ESDM satu bulan yang lalu, belum terdengar bahwa kajian tersebut sudah dilakukan. “Padahal RUU Migas sudah masuk dalam prioritas Prolegnas, jadi harus direalisasikan tahun ini,” katanya.
Kardaya juga mengatakan bahwa RUU tersebut harus memuat solusi atas isu-isu utama dalam perubahan UU migas diantaranya status badan pelaksana industri migas, apakah akan menjadi bagian dari institusi pemerintah seperti yang terjadi di Norwegia, dilaksanakan oleh BUMN migas nasional milik negara seperti yang diterapkan di Malaysia, atau malah terpisah dari negara seperti yang diterapkan di Arab Saudi dan Iran. “Inilah pentingnya kajian akademis, untuk menentukan model apa yang akan digunakan. Kajian tersebut harus dilakukan oleh para ahli dan orang-orang yang mengerti tentang migas, jangan oleh pemerintah,” tuturnya.
Selain itu, menurut Kardaya, dalam RUU harus dimuat pemisahan kewenangan antara badan pengatur dan pengawas migas yang saat ini dipegang oleh BPH Migas. “Konsep di seluruh dunia badan pengatur itu untuk mengatur bisnis yang ‘natural monopoly’ misalnya lapangan terbang, listrik, transportasi gas melalui pipa, jalan tol, pelabuhan, dan telekomunikasi. Kalau untuk BBM yang diperlukan adalah badan pengawas,” tuturnya.
Ia mengusulkan penataan kembali misalnya dengan membentuk badan pengatur energi yang berperan dalam pengaturan gas dan listrik, tetapi fungsinya harus terpisah dari fungsi pengawasan. Kardaya berharap setelah masa reses DPR berakhir, Komisi VII dan pemerintah dapat segera membahas RUU Migas ini karena akan berdampak pada UU lain seperti UU perpajakan, pertanahan, dan lingkungan. “Makanya kami ingin secepatnya karena RUU itu juga harus disinkronisasikan dengan UU lain,” katanya.
Wacana dan upaya pembentukan UU Migas baru telah mengemuka sejak ditetapkannya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2012 bahwa ada 17 pasal dalam UU Migas Nomor 22 Tahun 2001 yang bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.
Dalam amar putusannya, MK membubarkan BP Migas dan lembaga penggantinya akan ditetapkan sesuai dengan ketentuan yang akan diatur dalam UU Migas baru.
Artikel ini ditulis oleh: