Jakarta- Rancangan Undang-Undang Pengampunan Pajak menuai pro dan kontra dijadwalkan akan disahkan DPR RI dan pemerintah, Senin (20/6) pekan depan. RUU Pengampunan Pajak dianggap sebagai jalan keluar untuk mengejak target pajak sekitar 34 persen sehingga dapat menggenjot pembangunan infrastruktur di Indonesia.
“Yang harusnya disiapkan dari awal itu pra kondisi, baru kita bisa terapkan pengampunan pajak. Bukan ujug-ujug memberikan pengampunan pajak, itu sama saja memberikan cek kosong pada pengemplang pajak,” tegas Koordinator Divisi Riset Indonesia Corruption Watch (ICW)Firdaus Ilyas kepada Aktual.com, Rabu (15/6).
Apalagi, besaran tarif pengampunan pajak yang akan diberlakukan berkisar antara 2 hingga 6 persen. Prosentase yang dinilainya sangat kecil dan tidak memenuhi unsur keadilan, khususnya bagi masyarakat yang selama taat pajak.
Pemerintah selaku pengusul RUU Pengampunan Pajak, semestinya melihat substansi pengelolaan pajak jika tujuan diusulkannya RUU Pengampunan Pajak adalah menambah penerimaan negara. Bukan semata-mata mengejar penerimaan negara melalui pengampunan pajak, melainkan mengoptimalkan penerimaan negara pajak dan bukan pajak.
Terlebih pemerintah mempunyai laporan keuangan utang negara baik berupa pajak dan non-pajak yang jumlahnya mencapai hampir Rp 250 triliun. Apabila hal itu dioptimalkan minimal setengahnya saja, maka penerimaan negara sudah cukup besar dibandingkan melalui pengampunan pengemplang pajak.
“Laporan keuangan akhir negara akhir 2015, itu dikatakan ada Rp 250 triliun piutang negara. Kalau ini dioptimalkan setengah saja sangat baik. Bukan mimpi-mimpi melalui pengampunan pajak,” jelas Firdaus.
Selain itu, skema penerimaan negara juga bisa dilakukan dengan mengoprimalkan melalui pengenaan tarif/pajak bagi pengelolaan sumber daya alam. Hal itu jauh lebih kongkrit dibandingkan melalui skema pengampunan pajak. ICW khawatir kebijakan pengampunan justru akan menjadi bumerang bagi pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla.
Artikel ini ditulis oleh: