RUU Tax Amnesty (Aktual/Ilst)
RUU Tax Amnesty (Aktual/Ilst)

Jakarta, Aktual.com — Pemerintah diminta untuk tidak hanya mengandalkan disahkanya RUU Pengampunan Pajak Nasional atau Tax Amnesty untuk menurut defisit fiskal yang diyakini akan signifikan tahun ini. Pasalnya pemberlakukan Tax Amnesty disejumlah negara tidak langsung memberikan dampak pada perekonomian negara.

“Apalagi pengalaman di negara lain juga, adanya tax amnesty itu tidak otomatis memberikan penerimaan pajak yang besar,” ungkap ekonom senior Universitas Gajah Mada, Tony Prasetiantono usai acara Wealth Wisdom: The Essence of Wealth Permata Bank di Jakarta, Hotel Ritz Carlton, Pacific Place, Rabu (11/5).

Terlebih secara politik pembahasan RUU Tax Amnesty masih belum final. Sejumlah fraksi masih melakukan penolakan bahkan sebelum draf dibahas ditingkat komisi.

“Jadi tax amnesty itu jika diharapkan bisa menutup defisit anggaran, tapi saya rasa masih defeatable (belum pasti) karena di level DPR juga belum tentu di-approve (setujui) tax amnesty itu,” ingat Tony.

Saat ini, kata Komisaris Independen PT Bank Permata Tbk ini, rendahnya penerimaan negara yang sekarang baru mencapai 23 persen dari total target sebesar Rp1.822,5 triliun diakibatkan oleh melemahnya kondisi perekonomian global.

Untuk itu, pemerintah diminta untuk segera merevisi target pajak yang terlalu tinggi, karena jika hal itu tidak dikoreksi maka akan menyulitkan pemerintah untuk mendapatkan pertumbuhan pajak sesuai rencana.

Menururnya, jika kebijakan tax amnesty gagal disetujui, menurut Tony pemerintah harus segera merevisi anggaran belanja. Karena dengan besarnya anggaran belanja di saat penerimaan negara yang tak tercapai, justru akan menimbulkan defisit fiskal yang justru lebih besar.

“Karena kalau hanya mengandalkan kebijakan tax amnesty, akan membebani fiskal,” tutur dia.

Dengan kondisi itu, dampaknya pasti akan membebani pertumbuhan ekonomi. Jika pilihannya adalah tetap sesuai rencana tapi defisitnya terlalu besar, itu akan membahayakan fiskal di kemudian hari. Jadi akan ada masalah yang namanya fiskal sustainability. Ini yang harus kita hindari,” tegas Tony.

Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro menyebut realisasi penerimaan negara hingga 8 Mei 2016 telah mencapai 23 persen dari total target atau sekitar Rp419 triliun. Sementara realisasi total belanja negara sudah mencapai 28 persen.

Realisasi penerimaan pajak pada kuartal I-2016 sendiri lebih rendah Rp4 triliun dari realisasi penerimaan pajak periode yang sama pada 2015 sebesar Rp198 triliun. “Pencapaian kuartal I-2016 ini hanya mencapai Rp194 triliun,” tegas Menkeu kala itu.

Artikel ini ditulis oleh: