Lama tak menunjukkan diri ke publik, lima tahun lalu Pasukan Merah dimunculkan kembali oleh Agustinus dan rekan-rekannya dalam bentuk yang sangat adaptif dengan perkembangan zaman.
Awalnya masih memakai nama formal Tariu Borneo Rajangk dan hanya mengambil peran sebagai pelestari adat dan budaya dayak. Seiring dinamika, Agustinus beserta pasukannya merangsak masuk ke berbagai konflik antara Rakyat Dayak dengan hegemoni kekuasaan dan bisnis (oligarki, red).
Lantas bergerak massif, mengadvokasi masyarakat Dayak yang tersandera konflik. Nama Pangalangok Jilah dan Pasukan Merah tetiba menjadi perbincangan publik luas pada akhir Agustus 2020, tepatnya saat salah seorang anggotanya dikriminalisasi.
Insiden kriminalisasi tersebut ialah penangkapan paksa Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan Effendi Buhing (51) beserta lima rekannya oleh Kepolisian Daerah Kalimantan Tengah (Polda Kalteng) atas dugaan tindakan pidana pencurian mesin, pemaksaan dan perampasan, serta pembakaran pos jaga milik PT Sawit Mandiri Lestari (PT SML), Rabu (26/8/2020).
Dalam hitungan jam, berita penangkapan Buhing tersiar luas sehingga menaikan eskalasi konflik di Wilayah Adat Kinipan, Kabupaten Lamandau menjadi isu Nasional. Setelah selama 24 jam keberadaan Buhing tak bisa dikonfirmasi siapa pun, ia dibebaskan dari tahanan Mapolres Kotawaringin Barat keesokan harinya (27/8/2020).
Aktivis lingkungan dari beragam latar belakang turut angkat bicara untuk membela Buhing dan dkk. Menurut mereka, Buhing dan kelima rekannya dikriminalisasi karena membela diri. Mereka mengambil langkah spontan untuk mencegah PT SML melakukan Land Clrearing di wilayah Hutan Adat Kinipan.
“Riswan dan Effendi saat itu mau menghentikan penebangan hutan, melindungi hutan. Mereka mengambil dan menahan chainsaw (gergaji pohon), tidak benar dirampas, apalagi dicuri,” kata Dimas N Hartono, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng dalam sebuah konferensi pers daring, Kamis (27/8/2020).
Artikel ini ditulis oleh:
Andy Abdul Hamid