Jakarta, aktual.com – Dalam sidang uji materi terkait rangkap jabatan sipil oleh polisi dengan nomor perkara 114/PUU-XXIII/2025, saksi pemohon Stepanus Febyan Babaro menyoroti adanya potensi gaji ganda yang diperoleh anggota kepolisian ketika menduduki posisi sipil.
Stepanus menceritakan bahwa dirinya pernah mengikuti seleksi untuk menjadi petinggi Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) karena memiliki kompetensi di bidang Informasi Teknologi (IT).
“Hal tersebut sudah beberapa kali saya pertanyakan kepada lembaga negara tersebut, tahun 2024 dan di tahun 2025. Akan tetapi, saya mendapatkan jawaban bahwa jabatan-jabatan tersebut sudah diisi oleh instansi kepolisian,” kata Stepanus saat persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (15/9/2025).
Ia menekankan bahwa polisi yang ingin menduduki jabatan sipil seharusnya mengundurkan diri terlebih dahulu, sehingga peluang kompetisi bisa berlangsung secara adil. Menurutnya, praktik saat ini justru membuka peluang bagi aparat kepolisian memperoleh penghasilan dobel.
“Satu, gaji atau tunjangan sebagai anggota Polri, dan dua gaji serta fasilitas dari jabatan sipil yang didudukinya,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menyebut praktik tersebut memicu ketidakadilan sosial dan bertentangan dengan prinsip kesetaraan di hadapan hukum. “Hal ini menimbulkan ketidakadilan sosial dan mencederai prinsip persamaan di hadapan hukum, sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat 3 Undang-Undang Negara Republik Indonesia 1945,” tambahnya.
Berdasarkan pengalamannya, Stepanus menilai terdapat ketimpangan kesempatan antara masyarakat sipil dan polisi aktif dalam mengisi jabatan publik. “Hal ini menciptakan rasa ketidakadilan, memperburuk kondisi sosial ekonomi yang membuat terdampak karena kehilangan kesempatan adil dan transparan,” jelasnya.
Sebagai catatan, gugatan ini diajukan oleh Syamsul Jahidin terhadap Pasal 28 Ayat (3) beserta penjelasannya dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri).
Alasan gugatan tersebut karena banyak anggota polisi aktif yang menempati posisi strategis di luar Polri, seperti Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Sekjen Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), Wakil Kepala BSSN, hingga Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Mereka menduduki jabatan itu tanpa harus mundur atau pensiun dari kepolisian, yang menurut pemohon bertentangan dengan prinsip netralitas aparatur negara. Praktik ini dianggap mengurangi kualitas demokrasi dan meritokrasi pelayanan publik serta merugikan hak konstitusional warga sipil untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam jabatan publik.
Pemohon juga menilai norma pasal tersebut secara substansial menciptakan dwifungsi Polri, karena selain berperan menjaga keamanan negara, Polri juga masuk dalam ranah pemerintahan, birokrasi, dan sosial masyarakat.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain

















