Jakarta, Aktual.com — Tujuan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), yang mengklaim lebih banyak keuntungan yang didapat dengan keterlibatan di Trans Pacific Partnership (TPP) sepertinya perlu diluruskan.

Pasalnya, kehadiran TPP juga akan mereduksi banyak perusahaan dalam negeri, terutama perusahaan BUMN yang nantinya tidak bisa memonopoli proyek pemerintah.

Menurut Kordinator Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng, ada tiga hal yang menjadi titik krusial. Yaitu, peran negara akan dihilangkan, peran BUMN akan dipangkas karena tidak akan ada monopoli dan diskriminasi, dan ketiga tidak adanya perjanjian penghilangan kandungan lokal.

“Dengan begitu mama perusahaan BUMN tidak akan ada lagi insentif. Mereka akan bersaing langsung dengan perusahaan asing. Karena TPP ini bagian dari strategi pemusnahan pelaku bisnis,” tandas Daeng saat diskusi TPP di Gedung PBNU, Jakarta, Selasa (23/2).

Di mata Daeng, TPP ini kecil sekali manfaatnya. Bahkan keterlibatan di TPP ini akan menjatuhkan perekonomian nasional. “Karena yang diatur di TPP itu, sesuatu yang tidak diatur di WTO, atau FTA (free trade agreement) lainnya. Tapi di TPP ini akan lebih komprehensif lagi mengaturnya. Sehingga akan banyak kerugian yang didapat,” tandas dia.

Di tempat yang sama, ekonom UI Berly Martawardaya menyebut, dengan adanya TPP nantinya untuk proyek-proyek strategis, jika ada TPP. tidak akan ada lagi sistem penunjukkan untuk perusahaan BUMN

Sehingga para penanam modal itu melarang adanya penunjukkan, justru mereka berharap dapat bersaing head to head dengan perusahaan BUMN. Termasuk untuk daftar negatif investasi (DNI) ini setiap saat akan berkurang.

“Bisa jadi Bulog dan Pertamina itu tidak bisa melayani publik seperti saat ini. Sehingga akan semakin terlindas oleh swasta,” paparnya.

Bahkan, bisa saja perusahaan migas yang mau buka SPBU bisa pilih-pilih tempat sesuai prospek bisnis tidak berdasar ketentuan pemerintah. Mereka bisa hanya memilih bangun SPBU di Jawa dan menolak di Papua.

“Karena di Jawa mereka bisa untung besar. Sementara kalau bangun di Papua hanya akan membebani perusahaan, dengan jalur distribusi mahal. Mereka pasti pilih di Jawa,” tuturnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan