Pasal penghinaan presiden dan hak imunitas DPR. (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – Dalam suatu riwayat, Khalifah Ali bin Abi Thalib pernah berujar, “Sejahat-jahatnya suatu penguasa negara, ialah bila rakyat penghuni negara itu merasa terancam, kekurangan makanan, banyaknya pungutan, penganiayaan sebelum pengadilan, dan penarikan pajak dengan hasil yang tidak seimbang”.

Ali r.a adalah orang yang luas ilmunya, memahami administrasi negara, dan pernah memimpin umat Islam yang ada di seluruh dunia. Apa yang diungkapkan oleh beliau ini, tentu penting untuk menjadi bahan refleksi bagi seluruh pemimpin, khususnya pada level kepemimpinan nasional. Agar kemudian semua poin-poin yang ada dalam ungkapan Ali tersebut, tidak terjadi pada rakyat di sebuah bangsa. Karena bila itu terjadi, merujuk pada pandangan Ali tersebut, maka kepemimpinan seperti itu telah gagal.

Lantas, bagaimana dengan kepemimpinan nasional hari ini? Dan bagaimana situasi rakyat hari ini? Bila apa yang diungkapkan oleh Sayyidina Ali itu kita bedah satu persatu, maka akan terang oleh kita tentang situasi kepemimpinan tersebut. Namun rasanya akan terlalu panjang, bila kita harus membedah semua poin-poinnya. Oleh karenanya, saya tertarik untuk membedah satu saja dari lima poin yang disebutkan oleh Menantu Rasulullah saw tersebut, yakni pada poin pertama, tentang “rakyat yang merasa terancam”. Dan saya pikir ini cukup, untuk memberikan gambaran tentang situasi kepemimpinan nasional hari ini.

Akhir-akhir ini, banyak di antara rakyat yang mulai takut untuk melakukan kritik kepada pemerintah, baik itu di sosial media ataupun dalam media-media lainnya. Sebab, apabila ada rakyat yang berani mengeluarkan kritik kepada pemerintah, maka akan banyak orang-orang yang tidak jelas dari mana asalnya, mereka akan melakukan teror dan menakut-nakuti, bahwa ia telah melakukan ujaran kebencian, menyebarkan hoax, memicu kerusuhan, melanggar UU IT, dan penghinaan terhadap simbol negara. Kemudian mereka diancam dilaporkan ke polisi, untuk kemudian akan diciduk, dan dikurung. Didenda berjuta-juta, dan dikurung bertahun-tahun dibalik jeruji besi.

Bagi masyarakat awam, yang tidak terlalu mengerti dengan konsep hukum dan demokrasi, maka praktis mereka akan takut, nyalinya menciut dan tidak berani untuk mengulang kritikannya kepada pemerintah secara terbuka. Mereka hanya akan bersuara dalam bisik-bisik, karena bayang-bayang pidana sudah mengontrol pikiran mereka. Terlebih lagi, sudah ada pula orang-orang yang telah diciduk dan kemudian dipertontonkan sebagai pelaku perbuatan pidana, dengan tuduhan penyebar hoax ataupun provokator. Seperti yang sudah dialami oleh Ustad Alfian Tanjung, Buni Yani, Jonru, dan lain-lain itu.

Situasi seperti ini tentu tidak sehat bagi pertumbuhan demokrasi kita, sebab ini jelas-jelas tidak sesuai dengan nilai-nilai demokrasi. Negara seharusnya hadir memberikan jaminan kebebasan dalam berdemokrasi. Bukan kemudian melakukan tindakan-tindakan yang cenderung memberikan rasa takut kepada masyarakat.

Sebelum Pak Jokowi menjadi presiden, beliau adalah orang yang diagung-agungkan oleh team medianya sebagai orang yang sederhana, egaliter, tidak anti kritik, berpihak kepada rakyat dan sangat demokratis. Saat kampanye 2014, Pak Jokowi dipersepsikan oleh team medianya sebagai antitesis dari orde baru ataupun antitesis dari orang-orang bawaan orde baru (kala itu lawan politiknya adalah Pak Prabowo, yang beliau menantu penguasa orde baru).

Namun kemudian, setelah Pak Jokowi menjadi Presiden, semua pemberitaan tersebut ternyata hanya sampah informasi. Karena kemudian, tanpa disadari oleh team mereka, bahwa pemerintahan Jokowi perlahan menjelma menjadi pemerintahan yang anti kritik, cenderung otoritarianisme, dan selalu berupaya keras mengontrol pikiran masyarakat agar takut menyuarakan kritik. Hal ini tentu sangat kita sesalkan, karena seharusnya semua hal demikian sudah dikubur dalam-dalam dan tak perlu dibangkitkan kembali. Karena ini sangat primitif dan memalukan. Namun apa boleh dikata, semua telah terjadi. Mereka telah lupa diri, dan mabuk kekuasaan, hingga kesadaran berdemokrasi yang benar pun mereka abaikan. Maka pada akhirnya, saya pun harus dengan berat mengatakan, gaya kepemimpinan hari ini adalah sampah dalam demokrasi!

Oleh : Setiyono (Kolumnus dan Mantan Aktivis Mahasiswa)

Artikel ini ditulis oleh:

Antara