Pada proyek pertama, disepakati pekerjaan pembangunan RS pendidikan khusus penyakit infeksi dan pariwisata di Universitas Udayana. Direktur Utama PT DGI saat itu Dudung Purwadi menyetujui pemberian fee yaitu kepada anak-anak perusahaan Permai Grup dengan rincian PT Anak Negeri sebesar Rp1,183 miliar, PT Anugerah Nusantara Rp2,681 miliar dan Grup Permai sebesar Rp5,4 miliar dengan cara seolah-olah ada subkon pekerjaan atau pembayaran pembelian material oleh PT DGI.

Sedangkan pada 2010, PT DGI juga mendapatkan pekerjaan lanjutan tahap II dan PT DGI membayar Rp1,016 miliar atas nama PT Bina Bangun Abadi yang diserahkan oleh El Idris kepada bagian keuangan grup Permai Yulianis.

Pada proyek kedua, PT DGI sebagai pelaksana pekerjaan proyek pembangunan Wisma Atlit dan gedung serbaguna provinsi Sumatera Selatan tahun 2010-2011. PT DGI pun memberikan “fee” kepada Nazaruddin berjumlah Rp4,675 miliar yang dibayarkan melalui PT Bina Bangun Abadi dan PT Hastatunggal Persadabhakti, Sesmenpora Wafid Muharam mendapatkan Rp3,2 miliar yang diserahkan El Idris dan Mindo ke Wafid di kantor Kemenpora.

“Dalam BAP no 11 disebut direksi tidak pernah mendapat persetujuan komisaris dan RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) untuk melakukan cara-cara melanggar hukum untuk mendapat proyek itu, apa cara melawan hukum?” tanya jaksa Kresno.

“Pokoknya yang berkaitan ‘good corporate governance’, code of conduct, transparansi itu satu kesatuan, pasti dilarang PT DGI melakukan cara melanggar hukum,” jawab Sandiaga.

Selama menjabat sebagai komisaris, Sandiaga mengaku hanya mengetahui bahwa PT DGI melakukan proyek-proyek konstruksi secara umum baik dari pemerintah maupun swasta.

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby