SAT juga mengungkapkan bahwa pernyataan dan dakwaan Jaksa Penuntut Umum keliru dalam menagihkan utang petambak ke MSAA BDNI.

Menurut SAT, utang petambak bukan kewajiban Sjamsul Nursalim dalam MSAA BDNI. Utang petambak tidak pernah dinyatakan lancar dan dijamin oleh Sjamsul Nursalim dalam MSAA-BDNI dan pemberian SKL telah melalui rangkaian pembahasan dalam KKSK dan didasarkan pada KKSK tanggal 17 Maret 2004 dan Inpres No. 8 Tahun 2002.

Berdasarkan fakta persidangan sebelumnya, Mantan Deputi BPPN, Taufik Mappaenre menjelaskan bahwa BPPN tidak mengajukan klaim kepada pemegang saham BDNI, Sjamsul Nursalim lantaran tidak menemukan unsur misrepresentasi terhadap isi perjanjian MSAA.

Menurut Taufik dalam kesaksiannya pada persidangan (16/7/2018), yang tahu informasi mana yang material atau tidak dalam menghitung nilai perusahaan PT DCD dan PT Wachyuni Mandira (PT WM) adalah akuntan publik Ernts & Young.

Menurut SAT, berdasarkan Keputusan KKSK tanggal 13 Februari 2004, KKSK telah menyetujui nilai hutang 11 ribu petambak plasma ditetapkan setinggi-tingginya Rp 1,1 triliun, sedangkan nilai aset jaminan tetap.

Utang Petambak kepada BDNI tersebut dijamin oleh lahan 0,6 hektare per petambak. Kisaran harga lahan di lokasi Dipasena petambak berdasarkan akta jual beli notaris Juli 2018 antara Rp 120 ribu m2 sampai Rp 180 ribu m2.

Menurut SAT, jika lahan tambak yang merupakan jaminan hutang petambak kepada BDNI masih dikuasai oleh Pemerintah dan dijual pada tahun 2018, maka nilai aset jaminan atas utang petambak sebesar Rp 3,1 triliun sampai dengan Rp 7,3 triliun.  Dengan demikian, jelas kerugian negara atas utang petambak terjadi karena penjualan di tahun 2007.

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby