Surabaya, Aktual.com – Satgas Anti-Mafia Tanah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) telah mengungkap dua kasus mafia tanah yang terjadi di Kabupaten Banyuwangi dan Pamekasan, Jawa Timur.
Menteri ATR/Kepala BPN Agus Harimurti Yudhoyono, saat mengumumkan hasil pengungkapan di Markas Kepolisian Daerah Jawa Timur, Surabaya, Sabtu (16/3), menyatakan bahwa pengungkapan tersebut merupakan hasil dari penyelidikan sebelumnya.
“Ada dua kasus yang telah dilengkapi dengan berkas perkara P21, masing-masing di Banyuwangi dan Pamekasan, dengan melibatkan lima tersangka,” ujarnya.
Mengenai kasus di Banyuwangi, AHY menjelaskan tentang penggunaan surat kuasa palsu dalam proses pemisahan sertifikat di Kantor Pertanahan setempat.
“Kerugian sekitar Rp17,769 miliar dengan luas tanah 14.250 meter persegi. Potensi kerugian negara dari BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan) dan PPh (Pajak Penghasilan) sebesar Rp506 juta,” katanya.
Dari pengungkapan kasus tersebut, terdapat dugaan adanya 1.200 sertifikat palsu yang telah ditahan oleh Kantor Pertanahan Banyuwangi atas instruksi Satgas Anti-Mafia Tanah.
AHY menegaskan bahwa dengan diungkapkannya kedua kasus tersebut, Kementerian ATR/BPN bersama instansi terkait memiliki tekad untuk memberantas praktik mafia tanah.
Sementara itu, Kepala Satgas Anti-Mafia Tanah, Brigadir Jenderal Polisi Arif Rachman, secara rinci menjelaskan bahwa pengungkapan kasus ini berawal dari laporan yang diterima dari Polres Banyuwangi dan Polres Pamekasan.
Untuk kasus di Banyuwangi, kejadian terjadi pada Januari 2023 yang melibatkan seorang korban bernama AKR, yang merupakan ahli waris tanah. Dalam kasus tersebut, terdapat dua tersangka, yaitu dengan inisial P (54) dan PDR (34).
Kasus ini dimulai ketika korban ingin melakukan pemisahan sertifikat, namun menggunakan jasa seorang calo bernama P untuk membantu.
“P melakukan proses tersebut, tetapi terbukti menggunakan surat kuasa palsu dengan melampirkan site plan yang diduga palsu, yang bertandatangan, stempel, dan nomor registrasi dari Kantor Dinas PU palsu,” ujarnya.
P juga dibantu oleh PDR dalam menunjukkan batas tanah kepada petugas BPN, menyusun kegiatan kesesuaian pemanfaatan ruang (KKPR), serta melengkapi persyaratan secara daring dan berperan sebagai saksi akta jual beli (AJB), padahal pemilik tanah sudah meninggal dunia.
“Ahli waris tidak mengetahui adanya pemisahan tersebut. Potensi kerugian mencapai Rp17,769 miliar. Selain itu, kami sangat prihatin atas rusaknya data di Kantor Pertanahan yang seharusnya menjadi aset pemda namun tidak terealisasi,” tambahnya.
Barang bukti yang berhasil diamankan termasuk satu unit laptop, sejumlah dokumen, dan satu lembar kuitansi pembayaran pemisahan bidang sebesar Rp411 ribu.
Kedua tersangka dijerat dengan Pasal 263 ayat 1 dan 2 KUHP tentang pembuatan, pemalsuan, dan/atau penggunaan surat palsu dengan ancaman pidana maksimal enam tahun penjara.
“Sementara dalam kasus Pamekasan, terdapat fakta tentang objek perkara dengan terbitnya SHM 476 atas nama D. Saat ini, tiga tersangka sedang dalam proses di Kejari Pamekasan. Terdapat bukti dokumen dan beberapa pendukung,” ungkap Arif.
Dalam kasus tersebut, terdapat tiga tersangka dengan inisial B, (57); MS, (53); dan S, (51), yang berasal dari Pamekasan dan berperan sebagai makelar, dengan seorang korban bernama D.
Kasus ini melibatkan tanah seluas 1.418 meter persegi dengan sertifikat atas nama D.
Almarhumah S, dalam praktiknya, membuat dokumen palsu untuk mengajukan permohonan SHM (sertifikat hak milik) ke Kantor Pertanahan Pamekasan, yang kemudian menghasilkan SHM 02559 atas nama S dengan luas 1.408 meter persegi pada tahun 2020.
Bersama tiga tersangka lainnya, almarhumah S menjual tanah tersebut dengan harga Rp1,3 miliar kepada Rudy Darmanto, yang mengakibatkan kerugian bagi D.
Dari hasil penjualan tersebut, masing-masing tersangka memperoleh keuntungan, di mana B mendapat Rp45 juta, MS mendapat Rp615 juta, dan S mendapat Rp15 juta.
Ketiga tersangka dijerat dengan Pasal 385 ayat 1 e KUHP juncto Pasal 55 KUHP tentang turut serta dalam penjualan tanah padahal mengetahui bahwa yang mempunyai hak atas tanah tersebut adalah orang lain, dengan ancaman pidana maksimal 4 tahun penjara.
Artikel ini ditulis oleh:
Sandi Setyawan


















































