JAKARTA, Aktual.com – Keberadaan sawit dalam kawasan hutan disebut terus menerus menghadirkan berbagai persoalan dengan sebab-sebab yang beragam.
Seperti tumpang tindih perizinan dan batas hutan dengan kawasan disekitarnya yang belum jelas.
Selain itu, banyak konflik lahan yang terjadi dalam kawasan hutan yang bersifat laten dan terus-menerus muncul di permukaan.
Hifdzil Alim Direktur Eksekutif HICON Law & Policy Strategies mengatakan, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) (2019), mencatat setidaknya terdapat 410 konflik agraria yang terjadi pada tahun 2018, di mana konflik di sektor perkebunan mencapai 144 kasus.
“Dari angka tersebut, 83 kasus atau 60 persen melibatkan perkebunan kelapa sawit. Misalnya, konflik yang terjadi di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, yang terjadi antara warga yang tergabung dalam Koperasi dengan perusahaan sawit, terkait dengan lahan sawit seluas 105 hektar yang menjadi sengketa antara kedua belah pihak,” ujarnya dalam siaran pers yang diterima Selasa (21/7/2020).
Contoh lain, lanjutnya, adalah konflik antara masyarakat dengan perusahaan sawit terjadi di Nagari Maligi, Kecamatan Pasaman, Kab Pasaman Barat, Sumatera Barat.
Konflik tersebut terjadi karena perusahaan menguasai hampir 2.100 hektar tanah ulayat Maligi untuk dijadikan kebun plasma dan telah tertanam pohon sawit, sedangkan perusahaan mengklaim hanya mengelola 665 hektar kebun sawit.
Perusahaan diduga mempersempit luas lahan untuk menghindari tudingan pencaplokan lahan. “Konflik lahan sawit tidak hanya merugikan rakyat petani kelapa sawit, melainkan berdampak terhadap persepsi sawit Indonesia di pasar internasional,” ujarnya.
Pada 13 Maret 2019 lalu Uni Eropa mengeluarkan kebijakan produk minyak sawit mentah (CPO) dikeluarkan dari sumber energi terbarukan.
Dikatakannya, Uni Eropa mengadopsi Delegated Act dan menganggap produk sawit Indonesia berasal dari kegiatan deforestasi kawasan hutan, pelanggaran HAM, serta pengerusakan lingkungan lain.
“Keputusan tersebut tentu berdampak pada serapan hasil sawit Indonesia, mengingat sawit merupakan komoditas ekspor terbesar Indonesia dari sektor perkebunan,” tutur Hifdzil.
Kebijakan kelapa sawit yang diambil oleh pemerintah pasti akan berdampak luas hingga kepada rakyat petani kelapa sawit.
Berdasarkan data Ditjenbun (2019), setidaknya terdapat 2,74 juta kepala keluarga (KK) yang menggantungkan hidupnya dari sektor perkebunan sawit. Jumlah tersebut mengalami kenaikan sebesar 2,5 persen jika dibandingkan dengan tahun 2018 yang mencapai 1,67 juta Kepala Keluarga.
Meski jumlahnya banyak, tetapi produktivitas kelapa sawit milik rakyat masih jauh di bawah sawit perusahaan negara maupun perusahaan swasta.
Berdasarkan data yang disampaikan oleh Apkasindo (2017) produksi sawit petani hanya mencapai 3,1 ton hektar/tahun. Sedangkan produksi sawit perkebunan negara mencapai 3,8 ton hektar/tahun dan perkebunan swasta mencapai 3,9 ton hektar/tahun.
“Perbandingan tersebut merupakan bukti bahwa rakyat petani kelapa sawit tidak hanya menghadapi permasalahan sengketa lahan, tetapi juga legalitas usaha, serta produktivitas sawit yang juga cukup rendah,” ujarnya.
Belum lagi ketika hasil sawit berupa Tandan Buah Segar (TBS) dijual di pasaran, petani tidak memiliki kemampuan untuk menentukan harga.
“Kondisi rakyat petani kelapa sawit diperparah dengan program subsidi biodiesel yang hanya menguntungkan pengusaha. Rakyat petani kelapa sawit semakin terjepit,” tuturnya.
Pihaknya mendorong pemerintah untuk segera membenahi tatakelola perizinan perkebunan sawit untuk mencegah konflik lahan di sektor perkebunan kelapa sawit.
“Kita juga meminta pemerintah menyelaraskan implementasi regulasi dan kebijakan (regeling en beleids regel) sektor sawit untuk menghindari pertentangan kewenangan dan tumpang-tindih kebijakan sektor sawit,” tuturnya.
Selain itu, kata Hifdzil, pemerintah harus merumuskan alternatif penyelesaian sawit dalam kawasan hutan guna melindungi rakyat petani kelapa sawit. (Antara)
Artikel ini ditulis oleh:
As'ad Syamsul Abidin