Saudaraku, semua orang mendamba kebahagiaan seperti burung bisa terbang tinggi.
Namun, gerak mimpi kebahagiaan itu tak selalu melesat sesuai harapan, karena patahan salah satu sayapnya.
Kita menjalani kehidupan secara paradoksal. Pada puncak capaian material dan teknikal, banyak orang jutru alami ketidakpuasan emosional: kecemasan, depresi, keterasingan, obsesif belanja, eksesif alkohol, obesitas dengan hampa makna.
Apakah materi penting bagi kebahagiaan? Jawabannya diberikan terang oleh Richard Wilkinson & Kate Pickett dalam “The Spirit Level: Why Greater Equality Makes Societies Stronger”.
Berdasarkan studi lintas-negara disimpulkan bahwa signifikansi materi bagi kebahagiaan itu seperti pentingnya makanan bagi orang lapar. Pada mulanya sangat didambakan. Namun, begitu sudah kenyang, berapa banyak dan enak pun makanan tersaji, orang kenyang tak terpengaruh lagi.
Bagi masyarakat negara miskin, pertumbuhan ekonomi dipandang sangat penting bagi kebahagiaan. Seiring memasuki negara berpenghasilan menengah, signifikansinya mulai berkurang. Hingga titik tertentu, pertumbuhan ekonomi nyaris tak berpengaruh lagi bagi kebahagiaan. Yakni, tatkala suatu negara sudah mencapai income per capita $25.000.
Setelah mencapai batas itu, kebahagiaan lebih bergantung pada kesejahteraan sosial-emosional (rohaniah).
Celakanya, manusia seperti kehilangan daya refleksi diri. Pusat kekuatirannya terus tercurah pada kegagalan ekonomi, bukan pada kegagalan sosial. Tak kenal kata cukup mengakumulasi materi dengan melebarkan kesenjangan sosial.
Padahal, kesenjangan lebar bukan hanya buruk bagi si miskin, tapi juga berbahaya bagi si kaya. Kesenjangan lebar bisa memicu polarisasi sosial, kecemburuan dan prasangka, memudarkan rasa saling percaya, yang ujungnya membawa risiko kemunduran kesehatan fisik dan mental, bahkan bisa merembet pada peluluhan capaian pembangunan secara keseluruhan.
Alhasil, jika ingin terus terbang bahagia, sayap materi dan sayap rohani harus bergerak serempak. Setiap pribadi harus keluar dari isolasi-pemujaan diri, terkoneksi dengan yang lain, membuka diri penuh cinta bagi sesama; rasa bersambung, rezeki berbagi.
Belajar Merunduk, Yudi Latif
Artikel ini ditulis oleh:
As'ad Syamsul Abidin