SBY mengaku sudah dua kali mendapat laporan dari orang dekatnya bahwa nomor teleponnya disadap. Pertama sepulang Tour de Java pada pertengahan tahun 2016 lalu. Saat itu SBY tak percaya atas laporan tersebut. Kedua ada seorang sahabat tak mau menerima telepon dari SBY karena merasa disadap. SBY pun tak percaya karena merasa tidak memiliki masalah.

Jakarta, Aktual.com – Politikus PDIP Andreas Hugo Pareira menilai penyadapan ilegal yang terjadi pada Presiden keenam Susulo Bambang Yudhoyono alias SBY, bukti bahwa rentannya sistem pengamanan negara terhadap Presiden.

Khususnya, bagi SBY yang bukan kali pertama menjadi korban penyadapan. “Bahkan 2009, ketika masih menjabat sebagai presiden, SBY dan beberapa menterinya pernah disadap oleh Badan Intelijen Negara tetangga kita Australia, yang kemudian dipublikasi oleh Wikileaks, yang baru ketahuan pada tahun 2013,” ujar dia di Jakarta, Kamis (2/2).

Belajar dari kasus penyadapan SBY di 2009, kata dia, bisa jadi SBY masih menjadi sasaran penyadapan di dalam atau dari luar negeri. “Soal dari mana dan siapa yang menyadap, Polri yang berwenang untuk membuktikan.”

Sementara, keinginan Presiden keenam itu yang ingin bertemu dengan Joko Widodo alias Jokowi, tergantung urgensi dari pertemuan tersebut.

Sebagai presiden, kata dia, Jokowi tentu ingin ditemui oleh berbagai orang dan berbagai kelompok. Jokowi, ujar dia tentu paham betul, dengan siapa seharusnya dia bertemu.

“Apakah pak SBY masuk dalam skala prioritas pertemuan dengan Presiden ? Saya tidak tahu,” ujar Andreas.

Keinginan SBY bertemu Jokowi untuk membicarakan persoalan bangsa, mulai dari berita hoax, aksi damai hingga tuduhan terhadap SBY melakukan percakapan dengan Ketua MUI KH Ma’ruf Amin.

Laporan: Nailin In Saroh

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Wisnu