Jakarta, Aktual.com – Hasil analisa Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM memperkirakan PT Freeport Indonesia (PTFI) tidak akan pernah merealisasikan ancaman untuk memperkarakan Indonesia ke Arbitase. Alasannya, selain peluang menang kecil, juga resiko besar. Salah satu resikonya adalah potensi semakin mersosotnya harga saham McMoRan Copper & Gold Inc di Bursa New York (FCX).
Peniliti dari UGM Fahmy Radhi mengatakan bahwa sepanjang 2014 rata-rata harga saham FCX masih bertengger USD 62 per saham. Pada perdagangan akhir Desember 2015, harga saham FCX terpuruk menjadi USD 8,3 per saham. Salah satu penyebab sentimen penurunan harga saham FCX adalah tidak adanya kepastian perpanjangan KK Freport dari pemerintah Indonesia. Terkuaknya skandal papa ‘minta saham’ pada Nopember 2015 mengindikasikan adanya upaya illegal untuk memperoleh kepastian perpanjangan KK guna mendongkrak harga saham FCX.
Pada periode Januari hingga Oktober 2016, harga saham FCX sempat rebound hingga mencapai rata-rata USD 12.6 per saham, masih terus naik hingga mencapai level USD 15.27 per saham pada 12 Januari 2017. Kenaikan cukup tinggi itu dipicu oleh dua faktor utama: surat jaminan Menteri ESDM, Sudirman Said untuk perpanjangan operasional Freeport, kedua; izin bagi Freeport untuk eskpor konsentrat tanpa diolah dan dimurnikan di smelter dalam negeri, yang dikeluarkan oleh Menteri ESDM Jero Wacik, Sudirman Said dan Acandra Tahar.
Namun sepanjang Februari 2017, harga saham FCX cenderung melemah sebesar 5,23 persen hingga mencapai USD 14.13 per saham, pada perdagangan 22 Februari 2017. Penurunan harga saham FCX itu disebabkan oleh kebijakan pelarangan ekspor konsentrat, yang diterapkan secara tegas oleh Menteri ESDM Ignasius Jonan
“Berdasarkan fluktuasi penurunan harga saham FCX itu, kecil kemungkinan bagi Freeport untuk benar-benar menerapkan ancaman menggugat ke Arbiase dan menghentikan produksi secara total. Alasannya, kedua tindakan itu akan semakin mempuruk harga saham FCX, yang berpotensi membangkrutkan McMoRan Copper & Gold Inc ,” papar Fahmy Radhi secara tertulis, Jumat (3/3)
Selanjutnya ujar Fahmy, dengan perhitungan tersebut, ia menyarankan agar pemerintah konsisten untuk menawarkan opsi IUPK berdasarkan PP 1/2017 dengan memenuhi syarat divestasi 51 persen dan fiskal prevailing (besaran pajak yang berubah seiring dengan perubahan peraturan pajak di Indonesia). Alternatifnya, tetap menggunakan opsi KK berdasarkan UU 4/2009, yang melarang ekspor konsentrat tanpa diolah dan dimurnikan di smelter dalam negeri.
Dia berpendapat, bahwa status IUPK berdasarkan PP 1/2017 yang ditolak oleh Freeport, sebenarnya lebih menguntungkan bagi Freeport ketimbang Freeport tetap mengunakan status KK, seperti yang dituntut Freeport. Dengan IUPK, tidak hanya dapat izin ekspor konsentrat tanpa harus membangun smelter dalam 5 tahun ke depan, Freeport juga dapat kepastian perpajangan selama 10 tahun. Bahkan masih bisa diperpanjang lagi 2×10 tahun, sehingga totalnya bisa mencapai 30 tahun.
Sedangkan, penggunaan status KK berdasarkan UU 4/2009 lebih menguntungkan bagi bangsa Indonesia. Pasalnya, dengan kewajiban untuk mengolah dan memurnikan di smelter dalam negeri dapat menaikan nilai tambah bagi Indonesia. Selain itu, Pemerintah Indonesia dapat mengambil alih Freeport saat kontrak berahir pada 2021, yang hanya tinggal 4 tahun lagi.
“Pengambilalihan pada 2021 tidak ada konsekwensi hukum maupun biaya, lantaran KK Freeport sudah berakhir, sehingga harus diserahkan kembali kepada Pemerintah Indonesia. Pasca pengambilalihan, pemerintah bisa menyerahkan pengelolaan Freeport pada konsorsium BUMN Pertambangan. Dengan dikelola oleh BUMN, Freeport dapat lebih dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, bukan kemakmuran pemegang saham McMoRan Copper & Gold Inc, bukan pula kemakmuran komparador Freeport,” tandasnya.
(Laporan: Dadangsah Dapunta)
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta
Eka