Bali, aktual.com – Keresahan warga muncul karena keberadaan kandang babi di perbatasan antara wilayah Banjar Kikik dan Banjar Geluntung Kelod, yang menyebabkan bau tak sedap dan dugaan pencemaran lingkungan.

Mereka meminta agar kandang babi yang dimiliki oleh Nyoman L., seorang penduduk non-desa Geluntung, dipindahkan.

I Putu Gunarsa Wiranjaya, Perbekel Desa Geluntung, menyatakan bahwa pemilik lahan dan pemilik kandang babi atau pengelolanya merupakan entitas yang berbeda.

Meskipun kandang tersebut berdiri selama satu setengah tahun terakhir, tidak ada perizinan yang diajukan oleh pemilik kandang kepada pemerintah desa atau mendapat persetujuan dari warga setempat.

“Dari awal tidak ada perizinan ke kami. Dan sudah sejak September 2023 lalu, warga protes terhadap keberadaan kandang babi. Terutama warga di Banjar Kikik. Karena wilayahnya berdampak langsung. Sedangkan warga di Banjar Geluntung Kelod juga sama,” ucapnya, Kamis (25/1).

Wiranjaya mengakui bahwa protes warga tersebut dibahas dalam rapat adat di banjar setempat, yang juga dihadirinya, pada tanggal 21 September 2023.

Dalam rapat itu, disepakati bahwa pemilik kandang akan menutup kandang selama empat bulan. Selama periode tersebut, pemilik akan membongkar kandang sendiri dan menjual babi serta bibitnya.

“Jadi sudah ada paruman adat yang kesepakatannya adalah menutup. Dengan tempo empat bulan itu,” ungkapnya.

Menurutnya, selama periode penutupan yang telah disepakati, ada dugaan bahwa pemilik kandang telah mengajukan perizinan kepada pemerintah desa dan warga setempat.

Namun, karena pengajuan tersebut dilakukan melalui OSS (Online Single Submission), dia tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai proses perizinan tersebut.

Hal ini disebabkan oleh kurangnya keterlibatan pemerintah desa dalam proses tersebut.

Soal izin, itu diketahui dari perkiraan dengan turunnya Dinas Perizinan ke lapangan.

Dinas Lingkungan Hidup dan Kepolisian pun turun langsung ke lokasi.

Hal ini menimbulkan kesan bahwa pemilik kandang mungkin ingin menghindari pelaksanaan kesepakatan yang telah disepakati sebelumnya.

“Kami sejatinya taat pada aturan yang berlaku atau peraturan di atas. Tapi, ini sudah ada protes dari warga, dan kenapa malah sekarang mengurus izin. Sebaiknya menaati kesepakatan. Karena kami di desa tentu tidak ingin masalah ini berlanjut (antara warga dan pemilik),” jelasnya.

Sementara itu, Kepala Wilayah Banjar Kikik, Desa Geluntung, Ketut Nirta menjelaskan bahwa jumlah KK Dinas di banjarnya mencapai sekitar 50-an, sementara untuk KK adat sekitar 41 KK.

Seluruh warga merasakan bau yang tidak sedap dan menentang adanya pencemaran lingkungan.

Sejak rapat adat, baru sekitar tiga minggu yang lalu, pemilik kandang terlihat berupaya mengurus izin dengan cara membuat sapiteng.

“Warga kami tetap meminta sesuai kesepakatan. Karena sebaiknya itu dahulu yang dijalankan pemilik,” tegasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain