Jakarta, Aktual.com — Sidang praperadilan BLBI yang diajukan oleh pemohon tersangka Syafruddin A Tumenggung selaku mantan Kepala BPPN terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi menghadirkan empat saksi ahli yakni Prof I Gede Panca Astawa selaku ahli hukum administrasi Negara, Prof Nindyo Pramono merupakan ahli hukum perdata dan Andi Wahyu Wibisana yang keahliannya mencakup Good Governence, Hukum Anti Korupsi dan Corporate Social Responsibility.

Dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Muchtar Efendi, Senin (31/7), saksi ahli dari pemohon yakni Andi Wahyu Wibisana mengatakan, “Jika hak tagih masih ada, maka tidak ada kerugian negara,” katanya.

Ketika BPPN dibubarkan, lanjut dia, hak tagih tersebut diserah terimakan kepada Kementerian Keuangan. Maka, menurut Andi negara masih memiliki hak hukum terhadap tagihan tersebut. Jadi tidak beralasan bagi KPK untuk menetapkan kerugian negara terkait pemberian SKL kepada Sjamsul Nursalim. Lantaran hak tagih tersebut masih ada di kementerian keuangan.

Menurut Andi Wahyu Wibisana, untuk menyatakan ada kerugian negara harus berdasar laporan hasil pemeriksaan yang merupakan pemeriksaan audit yang prosesnya panjang.”Ketua BPK pun tak berhak menyatakan sesuatu di luar LHP.”

Apalagi jika penghitungan kerugian negara hanya bersumber dari notulensi rapat antara KPK dan BPK, yang hanya ditandatangani oleh satu pihak. ”Notulensi rapat tidak bisa dijadikan alat bukti dalam menentukan kerugian Negara,” kata Pengajar Fakultas Hukum Universitas Pancasila ini.

Artikel ini ditulis oleh:

Novrizal Sikumbang
Wisnu